tag:blogger.com,1999:blog-65783683853958262612024-03-21T10:09:16.410-07:00kumpulan cerpenperjalanan hidup seorang insan dalam dunia fanaSiti Arofahhttp://www.blogger.com/profile/09664214601828767346noreply@blogger.comBlogger51125tag:blogger.com,1999:blog-6578368385395826261.post-44847292746623866172024-01-13T05:16:00.000-08:002024-01-13T05:16:06.229-08:00Privacy Policy<span class="fullpost">
</span><h1>Privacy Policy for Kumpulan Cerpen</h1>
<p>At Kumpulan Cerpen, accessible from https://kumpulancerpenkita.blogspot.com, one of our main priorities is the privacy of our visitors. This Privacy Policy document contains types of information that is collected and recorded by Kumpulan Cerpen and how we use it.</p>
<p>If you have additional questions or require more information about our Privacy Policy, do not hesitate to contact us.</p>
<h2>Log Files</h2>
<p>Kumpulan Cerpen follows a standard procedure of using log files. These files log visitors when they visit websites. All hosting companies do this and a part of hosting services' analytics. The information collected by log files include internet protocol (IP) addresses, browser type, Internet Service Provider (ISP), date and time stamp, referring/exit pages, and possibly the number of clicks. These are not linked to any information that is personally identifiable. The purpose of the information is for analyzing trends, administering the site, tracking users' movement on the website, and gathering demographic information. Our Privacy Policy was created with the help of the <a href="https://www.privacypolicyonline.com/privacy-policy-generator/">Privacy Policy Generator</a>.</p>
<h2>Cookies and Web Beacons</h2>
<p>Like any other website, Kumpulan Cerpen uses "cookies". These cookies are used to store information including visitors' preferences, and the pages on the website that the visitor accessed or visited. The information is used to optimize the users' experience by customizing our web page content based on visitors' browser type and/or other information.</p>
<p>For more general information on cookies, please read <a href="https://www.privacypolicyonline.com/what-are-cookies/">the "Cookies" article from the Privacy Policy Generator</a>.</p>
>>>>>>> parent of e1b9ab7 ([brands] Updated credits link)
<h2>Google DoubleClick DART Cookie</h2>
<p>Google is one of a third-party vendor on our site. It also uses cookies, known as DART cookies, to serve ads to our site visitors based upon their visit to www.website.com and other sites on the internet. However, visitors may choose to decline the use of DART cookies by visiting the Google ad and content network Privacy Policy at the following URL – <a href="https://policies.google.com/technologies/ads">https://policies.google.com/technologies/ads</a></p>
<h2>Our Advertising Partners</h2>
<p>Some of advertisers on our site may use cookies and web beacons. Our advertising partners are listed below. Each of our advertising partners has their own Privacy Policy for their policies on user data. For easier access, we hyperlinked to their Privacy Policies below.</p>
<ul>
<li>
<p>Google</p>
<p><a href="https://policies.google.com/technologies/ads">https://policies.google.com/technologies/ads</a></p>
</li>
</ul>
<h2>Privacy Policies</h2>
<P>You may consult this list to find the Privacy Policy for each of the advertising partners of Kumpulan Cerpen.</p>
<p>Third-party ad servers or ad networks uses technologies like cookies, JavaScript, or Web Beacons that are used in their respective advertisements and links that appear on Kumpulan Cerpen, which are sent directly to users' browser. They automatically receive your IP address when this occurs. These technologies are used to measure the effectiveness of their advertising campaigns and/or to personalize the advertising content that you see on websites that you visit.</p>
<p>Note that Kumpulan Cerpen has no access to or control over these cookies that are used by third-party advertisers.</p>
<h2>Third Party Privacy Policies</h2>
<p>Kumpulan Cerpen's Privacy Policy does not apply to other advertisers or websites. Thus, we are advising you to consult the respective Privacy Policies of these third-party ad servers for more detailed information. It may include their practices and instructions about how to opt-out of certain options. </p>
<p>You can choose to disable cookies through your individual browser options. To know more detailed information about cookie management with specific web browsers, it can be found at the browsers' respective websites. What Are Cookies?</p>
<h2>Children's Information</h2>
<p>Another part of our priority is adding protection for children while using the internet. We encourage parents and guardians to observe, participate in, and/or monitor and guide their online activity.</p>
<p>Kumpulan Cerpen does not knowingly collect any Personal Identifiable Information from children under the age of 13. If you think that your child provided this kind of information on our website, we strongly encourage you to contact us immediately and we will do our best efforts to promptly remove such information from our records.</p>
<h2>Online Privacy Policy Only</h2>
<p>This Privacy Policy applies only to our online activities and is valid for visitors to our website with regards to the information that they shared and/or collect in Kumpulan Cerpen. This policy is not applicable to any information collected offline or via channels other than this website.</p>
<h2>Consent</h2>
<p>By using our website, you hereby consent to our Privacy Policy and agree to its Terms and Conditions.</p>Siti Arofahhttp://www.blogger.com/profile/09664214601828767346noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6578368385395826261.post-57819699562204012992020-09-08T03:11:00.002-07:002020-09-08T03:11:41.083-07:00Misteri Senandung Di Rumah Tante<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjcpLt9c8D4svQFN5Qgfh1_nw3TGIbs0aOwTpjFWysDv3jnbstphz57rsosG6i7j0nGaaB2xmyR2pHtDP1vpA67uUP54_uowH38gindXt4hPyjmg5Pa1dDktR_ftgGH8-Zzg8xK0DYJU5jM/s300/kereta.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="168" data-original-width="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjcpLt9c8D4svQFN5Qgfh1_nw3TGIbs0aOwTpjFWysDv3jnbstphz57rsosG6i7j0nGaaB2xmyR2pHtDP1vpA67uUP54_uowH38gindXt4hPyjmg5Pa1dDktR_ftgGH8-Zzg8xK0DYJU5jM/s0/kereta.jpg" /></a></div><span style="font-family: verdana;">“Sesaat lagi kereta akan berhenti di Stasiun Waru. Penumpang yang akan turun, harap segera bersiap-siap.”</span><p></p><p><span style="font-family: verdana;"><br />Ting. Tong. Ting. Tong.<br /> </span></p><p><span style="font-family: verdana;">Suara perempuan pegawai kereta api, membangunkanku. Mataku terbuka, menampilkan pemandangan malam di luar jendela yang remang. Cahaya satu-satunya hanya berasal dari stasiun yang jaraknya mungkin masih 200 meter.<br /><br />Sepupuku Mbak Fela menyikutku. Sebenarnya, aku sudah terbangun, namun masih memasang wajah setengah mengantuk. Rasanya masih sangat nyaman untuk tidur di kursi kereta. Tapi, kami harus segera beranjak sebelum kereta benar-benar tiba di stasiun Waru Sidoarjo.<br /><br />Sepupuku yang lebih tua Mbak Ria memimpin kami di depan. Dua menit kemudian kereta kami sampai. Kami pun turun dan keluar untuk segera mencari mobil Tante Aini yang menjemput kami. Cukup mudah menemukannya, sebab mobil itu terparkir tepat di depan pintu keluar. Kami pun segera memasuki mobil.<br /><br />Di dalam sudah ada tante serta sepupuku, Rahel. Sebelum melanjutkan perjalanan ke rumah tante, kami memutuskan untuk mengisi perut. Bakso adalah makanan pertama yang terlintas di kepala kami. Tante pun segera membanting setirnya menuju Wisata Kuliner Kepuh.<br /><br />Tempat itu seperti sebuah lapangan yang dikelilingi oleh para pedagang kaki lima. Ada yang menjual nasi goreng, es campur, es kacang hijau, dll. Selain itu, ada berbagai macam permainan anak kecil, seperti odong-odong, memancing ikan plastik, menerbangkan benda kecil bercahaya –entah apa namanya. Sebenarnya, semua itu sungguh membuatku tergiur ingin membeli semua yang ada di sana. Tapi tentu saja itu tidak mungkin.<br /><br />Kami berempat memilih bakso langganan kami. Bakso dengan satu pentol besar tersaji di depan mata. Angin malam yang bertiup pelan, membuat uap bakso hangat menyentuh wajah. Rasa bakso ini tidak pernah mengecewakan.<br /><br />Sebenarnya, tujuanku, Mbak Fela, dan Mbak Ria berangkat dari Bangil ke Sidoarjo untuk merayakan ulang tahun Rahel kecil-kecilan. Tante Aini membujuk kami untuk datang dengan tawaran akan mentraktir kami selama di Sidoarjo. Tentu saja itu tawaran yang menggiurkan dan tidak boleh disia-siakan.<br /><br />“Kira-kira besok ngapain ya?” Rahel membuka obrolan.<br />“Makan-makan aja!!” aku menjawab asal. “Gak seru gitu doang, mumpung lagi ditraktir nih.” Sahut Mbak Fela sambil mengunyah siomay. “Ke mall aja. Semua ada disana. Lengkap!” Mbak Ria memberikan usul yang membuat aku, Mbak Fela, dan Rahel mengangguk setuju. Wajah Tante Aini terlihat kusut. “Pintar kalian yah kalo soal nguras dompet orang.”<br />Kami tertawa.<br /><br />“Nonton yuk!” aku memberi usul, kali ini tidak lagi asal. “Tapi, nonton apa yah?”<br />“Tiga hari yang lalu aku nonton bareng teman-teman. Ada film Posesif, Thor, Gasing Tengkorak, dan Pengabdi Setan. Pilih yang mana?” Rahel menawarkan keempat film itu. “Pengabdi Setan aja! Kata temanku sih filmnya bagus banget, bikin kaget, tegang, dan penasaran.” Sahut Mbak Fela memberi saran.<br />“Ah, tapi kenapa harus film horror?! Aku paling benci genre itu. Genre yang bikin penonton tutup mata sepanjang adegan film berlatar malam hari. Kalau ditutup kenapa harus nonton. Buang-buang uang aja.” Batinku.<br />Tapi terlambat, mereka semua setuju.<br />“Aku udah pernah nonton, filmnya emang bagus. Kalian nonton aja. Aku sama Tante Aini bakal keliling selama kalian nonton besok. Tante pasti gak berani nonton tuh film.” Sindir Mbak Ria sambil mengintip wajah tante yang sudah terlihat semakin kusut. Kami tertawa.<br /><br />Sepulang dari Kepuh, kami langsung pulang. Rumah tante sepi. Itu karena ini dua hal. Yang pertama, kawasan ini merupakan kawasan perumahan. Kedua yaitu karena tante hanya punya satu anak, dan suaminya selalu sibuk bekerja, menjaga pos polisi sepanjang hari.<br /><br />Aku segera berganti pakaian menjadi baju tidur milik Rahel. Meskipun dia dua tahun lebih muda, tapi badannya jauh lebih besar dibandingkan denganku. Itu mengapa, aku tidak perlu membawa pakaian ganti selain bajuku yang aku pakai dari Bangil.<br /><br />Sebelum tidur, kami berkumpul di ruang depan, menonton TV. “Kalian kalau dengar suara orang mandi, nggak usah dipikirin. Kadang-kadang di malam hari, terdengar suara seseorang tengah bersenandung di kamar mandi. Sosok itu bisa laki-laki atau perempuan.” Tante Aini mulai bercerita. Adik dari mamaku ini memang dikenal tidak bisa berhenti bicara. Kali ini dia kembali bercerita, cerita horror yang aku benci.<br />“Jadi, itu bukan ayah atau mama? Aku kira selama ini kalian yang nyanyi-nyanyi gak jelas.” Rahel menyahuti. Matanya masih fokus menatap layar ponsel, sibuk membalas chat teman-temannya. “Itu bukan mama. Ayah juga membantah pernah nyanyi di kamar mandi. Dia biasa langsung tidur setelah pulang.”<br />Oke, aku mulai merinding. Cerita ini tengah menju puncaknya. Sialnya, tidak ada yang bisa mengalihkan perhatianku. “Biasa aja Rim, itu biasa terjadi. Setiap rumah kan ada penunggunya.” Tante Aini menyudahi ceritanya.<br /><br />Aku beranjak tidur kemudian. Malam hari terasa begitu lama kali ini. AC yang menyala di kamar Rahel, semakin lama semakin terasa dingin. Aku menyesal menolak selimut yang ditawarkan tante. Dinginnya AC membuatku semakin susah untuk tidur. Mataku terpejam, tapi kesadaranku sepenuhnya masih utuh.<br /><br />Jam berdetak terdengar teratur. Suasana terasa sunyi. Ini semakin menakutkan saat cerita seram tante kembali terngiang di otakku. Apa yang harus aku lakukan? Aku ingin segera tidur, tapi malah semakin susah.<br /><br />Byur. Byur. Na na naaa…<br />Mataku otomatis terbuka. Jantungku berdegup kencang. Keringat dingin keluar perlahan. Kenapa semua orang tidur dengan nyenyak? Tidakkah mereka mendengar apa yang terjadi di kamar mandi? Meskipun suaranya terdengar samar, bagiku itu sangat jelas untuk terdengar di suasana senyap ini. Aku memutuskan untuk kembali menutup mata. Bacaan Al-Fatihah dan Ayat Kursi lancar aku bacakan berulang kali. Senandungan itu tidak pernah ingin berhenti.<br /><br />Akhirnya, pagi datang. Mentari tidak menembus jendela yang tertutup gorden. Hanya terdengar suara gemericik air yang terdengar keras. Aku kira sosok itu masih mandi, ternyata itu suara hujan deras. Ini adalah pertama kalinya Kota Sidoarjo tersiram hujan.<br /><br />Aku terbangun beranjak menuju dapur. Tante Aini sudah sibuk menyiapkan sarapan. Bau nasi goreng menusuk hidung, terasa enak. Tapi, perutku masih belum sepenuhnya lapar. “Sudah bangun, Rim? Ayo sarapan!” aku menggeleng. Perutku masih belum siap diisi oleh makanan berat. “Kalau begitu, makan tuh roti lapis di meja depan. Ajak yang lain juga. Ini sudah jam 6 tapi mereka masih tidur nyanyak, sedangkan tante harus bangun pagi bekerja di dapur.” Aku hampir tertawa lepas. Tanteku ini pagi-pagi sudah bisa membuat orang terhibur.<br />Aku mengangguk, berbalik menuju ruang depan. Benar saja, roti lapis rasa coklat dan pandan yang uapnya masih mengepul hangat tersaji di atas piring. Kalau seperti ini, aku baru ingin memakannya. Aku juga mengajak yang lain untuk bangun dan memakannya. Bahkan hanya dengan mendengar kata ‘roti lapis’ mereka langsung terbangun.<br /><br />Pagi ini berlalu dengan cepat. Sudah pukul 11 siang. Aku dan yang lain bersiap-siap menghabiskan hari libur di salah satu department store. Tante Aini juga sudah menyiapkan mobilnya. Kami pun berangkat.<br />Mungkin butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai. Jalan raya tidak macet sedikitpun. Aku rasa karena hari ini adalah hari libur, jadi sebagian besar penduduk memutuskan untuk berlibur ke luar kota pergi menuju ke tempat yang lebih tenang.<br /><br />Bioskop berada di lantai tiga. Lantai tiga adalah tempat wahana bermain, wisata kuliner, serta tempat yang iconic untuk berfoto. Tempat ini selalu dipenuhi oleh orang-orang yang ingin menikmatinya. Mereka berlalu-lalang, bercakap sambil makan, tertawa dan berteriak histeris saat bermain wahana. Pemandangan menyenangkan ini dapat aku lihat sejauh mata memandang.<br /><br />Kami berlima memutuskan untuk tidak mengulur waktu untuk menikmati semua itu, sebab film yang akan kami tonton satu jam lagi akan tayang. Beruntung saat sampai disana kursi yang kosong masih cukup banyak. Kami bisa memilih tempat yang strategis untuk menonton, tidak jauh dari layar dan tidak terlalu dekat dari layar.<br /><br />Baiklah, ini adalah pertama kalinya aku kembali menonton film horror setelah sekian lama. Film ini sudah bertahan di bioskop satu bulan lebih. Kisahnya yang membuat penonton berteriak histeris berhasil menjadi trending topic. Total penonton yang didapatnya pun sudah mencapai 4 juta. Pengabdi Setan benar-benar telah menghebohkan dunia perfilman Indonesia, jadi aku rasa aku tidak akan rugi menontonnya.<br /><br />Satu jam kemudian kami masuk ke ruang teater 3 atau studio 3. Film pun ditayangkan tidak lama kemudian. Aku cukup antusias dengan film ini. Dua jam berlalu tanpa terasa. Kami berlima keluar dari studio dengan wajah puas. Meskipun jujur saja, aku terlalu banyak menutup mata sepanjang film diputar. Tapi, aku cukup puas dengan jalan ceritanya. Tidak heran, film horror ini menghebohkan Indonesia.<br /><br />Sebelum pulang, kami memutuskan untuk jalan-jalan sebentar mengisi perut kosong. Ada paket murah terpampang di banner depan toko. Nasi goreng dengan ice lemon tea yang menggugah selera. Kami pun masuk ke dalam memesan makanan.<br /><br />Pukul lima sore kami keluar dari departement store. Sepanjang perjalanan pulang, kami asyik membahas film tadi. Aku pun juga ikut bergabung. Ternyata film horror pun juga bisa menyenangkan.<br /><br />Hari beranjak malam. Langit Sidoarjo sudah gelap. Matahari berganti rembulan. Entah kenapa, tiba-tiba aku kembali kepikiran hal aneh kemarin. Saat kamar mandi rumah tante ada yang menggunakan. Seorang perempuan bersenandung riang sambil bermain air di dalamnya. Buluku meremang.<br />Ditambah lagi dengan adegan-adegan menakutkan yang tadi belum sempat aku tutupi di film. Adegan dimana wajah seram sang ibu di-close up, wajahnya terias dengan apik. Lalu, aku juga mengingat suara lonceng khas milik sang ibu. Semua itu mampu membuatku ketakutan sendiri. Aku buru-buru menyingkirkan pikiran burukku.<br /><br />Malam semakin larut, kami beranjak tidur. Kali ini aku menggunakan selimut, berharap bisa tidur nyenyak di malam terakhirku di rumah tante. Namun, sia-sia. Pikiran buruk inilah yang sedari tadi menggangguku. Seperti malam sebelumnya, aku kembali mendengar senandungan menakutkan di kamar mandi. Aku tidak membuka mata, berusaha untuk tetap tenang. Suara itu semakin terdengar jelas. Detak jam pun tidak terdengar karenanya. Aku menarik selimut ke atas, menutupi wajah.<br /><br />Pagi kembali datang. Lagi-lagi aku yang pertama bangun setelah tante. Aku rasa karena tidurku sama sekali tidak nyenyak dua hari terakhir. Aku berjalan menuju ruang tamu. Menyalakan TV menonton berita pagi. Konsentrasiku pecah. Aku kembali memikirkan kejadian tadi malam. Itu benar-benar nyata. Inilah pertama kalinya aku bisa merasakan hal aneh seperti itu. Semua ini gara-gara cerita tante.<br /><br />Dua jam berlalu, ketiga sepupuku menyusul bergabung di ruang tamu. Sarapan pun juga sudah siap. Kami menikmati makanan yang dibuatkan tante.<br />“Kalian dengar suara-suara aneh nggak dua malam terakhir ini? Seperti suara seorang perempuan bersenandung.” Aku bertanya, membuka obrolan pagi. Mereka menggeleng. Tapi tidak dengan Mbak Fela. “Sebenarnya aku juga mendengarnya. Tapi itu samar-samar tidak jelas. Aku pikir karena aku terlalu kepikiran cerita tante.” Aku menggeleng tegas. “Aku mendengarnya, suara itu benar-benar jelas.” Seruku hampir melemparkan sendok. “Benarkah?” Mbak Fela masih belum percaya.<br /><br />Tiba-tiba tante tertawa kencang. Dia hampir memuncratkan makanan yang ada di mulutnya. Kami menatapnya heran. Tante berbalas menatap kami.<br />“Kalian pasti ketakutan gara-gara tante.” Dahiku berkerut, tidak mengerti. “Sebenarnya dua malam terakhir, perut tante mendadak selalu mulas. Jadi tante pergi ke kamar mandi.”<br /><br />Aku dan Mbak Fela menatap tidak percaya. Jantung kami harus berlomba setiap dua malam terakhir karena hal tidak terduga ini, dan sekarang tante malah bercerita tanpa rasa bersalah.<br /><br />“Lalu kenapa mama bersenandung? Kalau aku yang mendengarnya, aku pasti sudah lari ke kamar mama.” Jujur saja, aku juga sebenarnya penasaran dengan jawaban dari pertanyaan Rahel.</span></p><p><span style="font-family: verdana;"><br />Tante Aini memasang cengiran lebar-lebar.<br /> </span></p><p><span style="font-family: verdana;">“Sebenarnya sejak kalian ingin menonton film horror itu, tante jadi sering kepikiran. Tante juga begitu takut dengan hal-hal seperti itu. Makanya, saat malam-malam di kamar mandi, tante bersenandung supaya suasananya nggak terlalu sepi. Supaya tante juga bisa mengusir pikiran buruk tante. Makanya tante bersenandung dan membuat suara air lebih keras.”<br /><br />Aku memukul jidat tidak percaya. Jadi selama dua malam terakhir ini, aku tidak bisa tidur nyanyak, selalu merasa dihantui, itu karena ulah tante. Benar-benar sial liburanku di Sidoarjo kali ini.</span></p><p><span style="font-family: verdana;"><br />Tapi, kemudian kami tertawa menyadari kesalahpahaman ini.<br /><br /><span class="fullpost">
</span></span></p>Siti Arofahhttp://www.blogger.com/profile/09664214601828767346noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6578368385395826261.post-21890433654231262952020-09-08T03:01:00.002-07:002020-09-08T03:12:10.049-07:00Masa Lalu Berdarah<p><span style="font-family: verdana;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhWwIcfdTeD0uIWzZFafM-hCOhW-uouWr2A3fAGE9C6Mv26FlUOpwY1UhVdRiJiL9gldoAWUAvKp_6WmQQ8Rflytswa1frYEqw_d2EbkUCY-tCIewQ9bvUubTo_fOM7iggnmsEL_VuvFq_e/s640/rumah+hantu.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="425" data-original-width="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhWwIcfdTeD0uIWzZFafM-hCOhW-uouWr2A3fAGE9C6Mv26FlUOpwY1UhVdRiJiL9gldoAWUAvKp_6WmQQ8Rflytswa1frYEqw_d2EbkUCY-tCIewQ9bvUubTo_fOM7iggnmsEL_VuvFq_e/s320/rumah+hantu.jpg" width="320" /></a></div>Selamat datang di rumahku!” kata seorang wanita yang duduk sambil minum teh.<br />“Terima kasih nyonya. Jadi hari ini saya sudah mulai bekerja?” Asih meletakan barang bawaannya di lantai.<p></p><p><span style="font-family: verdana;"><br />Pemilik rumah itu bernama Rossa. Rossa telah cukup lama ditinggal mati oleh suami dan anaknya. Sudah bertahun-tahun ia menghabiskan masa hidupnya di rumah hasil warisan suaminya.</span></p><p><span style="font-family: verdana;"><br />“Kamu sudah boleh bekerja. Disanalah kamarmu.” Rossa mengantarkan Asih ke depan kamarnya.</span></p><p><span style="font-family: verdana;"><br />“Silahkan kamu istirahat dulu. Nanti jam 4 sore, barulah kau mulai bekerja.”<br />Asih mengangguk sambil tersenyum, “Terima kasih Nyonya.” Lalu menutup pintu kamar dan merapikan pakaian yang ada di dalam koper.</span></p><p><span style="font-family: verdana;"><br />Rossa melangkah pergi dan duduk di atas kursi, melanjutkan kegiatannya. Di penghujung siang, ia biasa menjahit sehelai kain untuk dijadikan mantel. Di usianya saat ini, ia masih bisa melakukan beberapa hal yang bisa ia kerjakan sendiri. Soal mempekerjakan Asih hanya untuk berjaga-jaga jika terjadi apa-apa dengannya.</span></p><p><span style="font-family: verdana;"><br />Di dalam kamar barunya, terlihat Asih berlamun indah. Kemudian pikirannya menjadi kacau. tentang bayang kelamnya dulu. Ia berusaha membuang semuanya. Namun sulit. Seperti ada sesuatu yang memaksanya.<br />“Aa.. argh!”, Asih berusaha menahan tubuhnya yang perlahan jatuh. Di matanya terbayang sosok laki-laki yang samar. Merasa tak kuat, Asih pun merobohkan tubuhnya di atas ranjang.</span></p><p><span style="font-family: verdana;"><br />Sorenya, Asih mulai membersihkan tiap sudut rumah Rossa, “Berdebu sekali…”<br />“Memang ruangan ini sudah lama tak dibuka, apalagi dibersihkan. Semenjak anakku meninggal.” Kata Rossa yang tiba-tiba muncul.</span></p><p><span style="font-family: verdana;"><br />“Maafkan saya bu, saya…” kata Asih yang merasa bersalah.<br />“Tidak perlu minta maaf. Lagipula, apa salahmu? Kamar ini menjadi saksi bisu atas perampokan yang terjadi beberapa tahun lalu.” Air mata Rossa menetes.<br />Asih benar-benar membuat majikannya bersedih. Tapi, ia sudah mulai tenang karena Rossa memaafkannya.</span></p><p><span style="font-family: verdana;"><br />“Kalau begitu saya lanjut kerja dulu Bu.”<br />“Kamu tak ingin aku melanjutkan kisahnya?” tanya Rossa.<br />Asih menggeleng pelan dan berkata, “Saya mau, tapi bukan sekarang. Rumah Ibu belum semuanya kubersihkan. Izinkan saya untuk melanjutkannya.”<br />“baiklah.” Kata Rossa, “permisi.” Tambah Asih.</span></p><p><span style="font-family: verdana;"><br />Rossa terduduk di atas ranjang anaknya. Asih sesekali melirik. terlihat Rossa yang mengambil boneka kayu milik anaknya dan menyisiri rambutnya perlahan. Asih yang melihat itu, heran dengan sikap Tuannya.</span></p><p><span style="font-family: verdana;"><br />Tiba-tiba, bulu kuduk Asih berdiri. Benar saja, seketika boneka itu berubah menjadi sosok anak laki-laki yang menatap tajam Asih. ia pun ketakutan dan berteriak keluar dari kamar itu.</span></p><p><span style="font-family: verdana;"><br />Rossa yang mendengar teriakan Asih, langsung menghampirinya dan membawa Asih tuk duduk sambil melanjutkan yang belum sempat diselesaikannya.<br />“Asih tenanglah. Baiklah, aku akan melanjutkan ceritaku tadi. Dengarkan baik-baik.”</span></p><p><span style="font-family: verdana;"><br />Asih mengangguk, masih dalam keadaan takut. Ia pun berusaha tenang dan mendengarkan cerita majikannya.<br />“Jadi begini, beberapa tahun lalu, rumah kami dirampok oleh sekumpulan orang. Dan pada saat itu, kami sedang berada di kamar anakku. Tiba-tiba kumpulan orang yang tak diinginkan masuk dan membunuh suami serta anakku, aku pun tak tinggal diam. kau tahu apa yang terjadi berikutnya?” Asih menggeleng, kepalanya terasa pusing seketika.</span></p><p><span style="font-family: verdana;"><br />“Mereka juga mati, tapi ada satu orang yang berhasil lolos dengan membunuh semua orang yang ada di rumah itu.”</span></p><p><span style="font-family: verdana;"><br />“kepalaku.. pusing. Bu, sebentar!” Kata Asih sembari memegang kepalanya.</span></p><p><span style="font-family: verdana;"><br />“Aku, mengingatnya!” tambah Asih. Air matanya menetes.</span></p><p><span style="font-family: verdana;"><br />“jadi kau sudah mengingatnya?” Rossa berdiri dan mendekati Asih. Ia kaget melihat majikannya itu sudah membawa sebilah pisau.</span></p><p><span style="font-family: verdana;"><br />“Bu, jadi.. jangan Bu, jangan!”</span></p><p><span style="font-family: verdana;"></span></p><p><span style="font-family: verdana;"><br />“Ini akibat perbuatanmu Asih. Sekarang, lengkap sudah orang-orang di masa itu.” Kata Rossa sambil menatap ke bawah.</span></p><p><span style="font-family: verdana;"></span></p><p><span style="font-family: verdana;">Karya :Muhammad Yusuf Shabran<br /><br /><span class="fullpost">
</span></span></p>Siti Arofahhttp://www.blogger.com/profile/09664214601828767346noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6578368385395826261.post-49769225477720642422020-09-08T02:48:00.001-07:002020-09-08T03:12:30.614-07:00Siapa Yang di Sana ?<p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"></span></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-size: small;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1KPyfq4KkaTjAuWtFfUORJCIcm2GhRu93pZwQvH7sjJK6DVOeZr7Cr3TNSlGQsgfavBA0bTK1Cu8cQ5lqOqOkHdL-VrGgwERpZ9m2KC6lCPEPEJWPNvXESyb4dkh2Y3eWsWpvd7D2zs-G/s290/siapa+yang+disana.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="174" data-original-width="290" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1KPyfq4KkaTjAuWtFfUORJCIcm2GhRu93pZwQvH7sjJK6DVOeZr7Cr3TNSlGQsgfavBA0bTK1Cu8cQ5lqOqOkHdL-VrGgwERpZ9m2KC6lCPEPEJWPNvXESyb4dkh2Y3eWsWpvd7D2zs-G/s0/siapa+yang+disana.jpg" /></a></span></div><span style="font-size: small;">Hari itu begitu sangat berat baginya, rasa kesal yang mendalam padanya terasa sangat kuat. Rasa amarah yang tidak tau harus diarahkan kemana menbuat ia menjadi seseorang yang menyebalkan. Ia berjalan pulang dari sekolahnya. Rasa panas dan membakar dalam dirinya yang menguap tiba-tiba hilang akibat guyuran hujan yang begitu derasnya. Ia tetap melangkangkan kakinya selangkah demi selangkah sambil sesekali menghadap ke atas untuk merasakan dinginnya air hujan yang membasahi seluruh wajahnya, Ia tak peduli dengan apa yang terjadi ketika badannya basah kuyup. Ia hanya memikirkan bagaimana tenangnya dalam keadaan dingin seperti ini.</span><p></p><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Tak terasa ia berjalan begitu jauh, ia kebingunan karena jalan tanpa tentu arah, ternyata ia telah salah jalan pulang ke rumah. Ia memandang ke sekeliling yang terasa sangat aneh baginya suasana yang begitu menyebalkan menurutnya, keramaian yang sangat berisik membuat suasana hatinya kembali menjadi tak tentu.<br /><br />Ia melihat ke tangannya untuk melihat jam, waktu menunjukan pukul 13.40. Tak terasa ia telah berjalan selama 40 menit. Tidak ada rasa lelah di wajahnya karena yang ada dalam pikirannya hanya rasa kesal yang tak henti-hentinya dari tadi.<br /><br />Ia terus bertanya dalam hatinya .<br /><br />Kenapa bisa terjadi</span></span></p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Apa yang salah? </span></span><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;">Sudahlah…<br /><br />Ia berjalan dengan perlahan memperhatikan keaadan, banyak orang lalu lalang tanpa henti, ada yang berteriak-teriak “lima perak dapat 3, lima perak dapat 3…” ada yang tawar menawar dengan bercanda, ada kepulan asap yang beragam baunya, Ia baru sadar ia sedang berada di pasar. Rintik hujan masih belum usai, langit masih belum lega begitupun ia. Jalanan yang sangat kumuh wajarnya pasar tradisional. Keadaan yang basah kuyup menyebabkan ia merasa sangat dingin, ia pun dengan langkah yang cepat menghampiri seorang penjual.<br /><br />“permisi Bu, ini namanya pasar apa ya?” dengan wajah yang terpksa tersenyum<br />“pasar *****” dengan suara yang sangat lembut<br />Ia pun kaget ternyata itu adalah pasar yang tak pernah ia tau ada di daerahnya.<br />“terima kasih ya bu” ia membalas dengan tersenyum kecil<br /><br />Ia pun makin bingung karena pakaian yang dipakai orang-orang terasa sangat aneh, tak ada yang memakai alas kaki. Ia pun baru sadar kalau ia berada dalam keanehan.<br /><br />Semua laki-laki hanya bertelanjang dada dengan hanya mamakai celana pendek, para perempuan pun hanya memakai kain yang menutupi bagian atas dan bawahnya. Ia pun terasa sangat aneh ia berlarian kesana kemari dan tidak melihat rumah-rumah dari tembok seperti biasanya, jauh mata memandang ia hanya melihat tampak pohon-pohon tinggi.<br /><br />Ia mencoba memejamkan mata, bertanya-tanya pada dirinya sendiri.<br /><br />Ini dimana? apa yang sedang terjadi padaku?<br />Apa aku sudah mati? kenapa secepat ini? ah itu tidak penting<br />Aku harus berbuat apa? aku harus alasan ke mama apa? ini sudah sangat lama, mama pasti kuatir.<br /><br />Semua yang ia pikirnya seketika itu hilang karena ada seseorang yang menepuk bahunuya<br />“hei, bajumu kok aneh?`”<br />Ia pun tersentak karena kaget “apa? kamu siapa? ini dimana?”<br />“itu apa yang sedang kamu bawa di punggungmu? bentuknya bukan seperti pedang ataupun cangkul?”<br />“kamu siapa? sebenarnya apa yang sedang terjadi? ini dimana?” dengan nada sedikit tinggi dan kesal<br />“itu yang kamu pakai di kakimu apa? kok bagus, aku belom pernah melihatnya”<br />“sudahlah berhenti melihatku” ia pun bernada semakin tinggi<br />“oh iya maaf, kamu tadi nanya apa?” dia berbicara dengan memakan sesuatu<br /><br />Ia melihat ke arah orang di depanya, ia melihat orang itu sedang makan sebuah tangan, dimulai dari jari-jari yang diemut kemudian dikunyah begitu lahapnya.<br />“krauk-krauk`” darah dari tangan itu masih begitu segar, ia melihat seseorang itu dengan ketakutan, Ia makin bingung apa yang sedang terjadi, ini sebenarnya pasar apa?<br /><br />Kamu siapa?<br /><br />Orang di depannya pun menjawab sambil tersenyum dan tertawa kecil<br /><br />"Aku bukan siapa-siapa"</span></span></p><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span class="fullpost"> </span></span></span></p><p><span style="font-family: verdana;"><span style="font-size: small;"><span class="fullpost">Karya : Ainur Rohman <br /></span></span></span></p>Siti Arofahhttp://www.blogger.com/profile/09664214601828767346noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6578368385395826261.post-24036116835684979402019-10-31T01:41:00.000-07:002020-01-12T14:12:43.977-08:00Hidup Kedua Kali<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-family: "Trebuchet MS", sans-serif;"><span style="font-size: small;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjInB4iT2hxYOJRzxux4WTh4QVMy-AnGqHsTmd6AXoa0gthYVmPVX27c5iMj37CYMPk6Sg1vUUTBdzXCkqArDEGd7ulIiwTIhJTQNRfWx7muATLbSOhkpBPGADun5H91LRBpGB19b9IF1eS/s1600/putus+asa.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="Hidup Kedua Kali" border="0" data-original-height="183" data-original-width="275" height="133" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjInB4iT2hxYOJRzxux4WTh4QVMy-AnGqHsTmd6AXoa0gthYVmPVX27c5iMj37CYMPk6Sg1vUUTBdzXCkqArDEGd7ulIiwTIhJTQNRfWx7muATLbSOhkpBPGADun5H91LRBpGB19b9IF1eS/s200/putus+asa.jpg" title="Hidup Kedua Kali" width="200" /></a></span></span></div>
<span style="font-family: "Trebuchet MS", sans-serif;"><span style="font-size: small;">Aku tergolek lemah, setelah kuminum racun baygon beberapa tenggak. Selang beberapa menit mulutku berbuih penuh busa putih. Saat itu kurasakan seperti meregang nyawa. tubuhku serasa lumpuh, tiada sedikitpun daya untuk bergerak, hanya mampu melihat yang tersisa. Air mataku mengalir begitu saja, menangisi apa yanng telah terjadi. Mungkin benang-benang penyesalan merajut dalam angan khayalku.<span class="fullpost"><br /><br />Tiba-tiba saja, Safa, anakku satu-satunya datang. Berkali-kali ia memanggil namaku. Aku yang tak berdaya tak mampu berucap sepatah katapun. "Mama, mama kenapa ? Bangun Ma " , teriaknya sambil menangis. Kembali mataku hanya menatap atap-atap langit yang mulai pudar terboreh oleh bocoran dari genteng-genteng rumahku.<br /><br />Sepertinya aku sudah berada di depan ajal, pikirku. Kulihat Safa tampak berlari keluar. Seketika itu banyak para tetanggaku berhamburan menuju aku yang sedang terbaring lemah dengan mulut yang dipenuhi busa.Aku dilarikan ke rumah sakit. Waktu itu aku sudah tak ingat apa-apa lagi. Dan tiba-tiba saat di perjalan aku tak bisa membedakan mana kehidupan nyata dan mana yang bukan. Anehnya aku bisa melihat semuanya yang berada di dalam sebuah mobil ambulance sedang menolong aku. Berapa kali kusapa mereka, tapi mereka enggan membalas sapaku. Aku baru menyadari jika mereka tak melihat keberadaanku. Di saat yang bersamaan, Aku melihat diriku sendiri yang sedang tertidur di sebuah dipan milik ambulance. Aku sempat menangis, kusadari itu jasad diriku yang sesungguhnya. Perasaan menyesal datang bertubi-tubi. Aku berusaha meraih jasadku. "Ayo bangun, ayo bangun Rita !", pintaku sambil ku coba mengayunkan jasadku, namun semua usahaku bagai sia-sia. Aku seperti sebuah bayangan semu yang tak mampu menyentuh sesuatu yang nyata.<br /><br />Aku melihat Safa anakku sedang dipangku oleh Nina, tetangga sebelah rumahku. Mata Safa tampak merah sembab. Tampak air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Sesekali beberapa kata keluar dari mulutnya. Dan yang kudengar selalu kata "Mama.......... jangan tinggalkan Safa, Ma." Nina memeluknya erat-erat, seakan ia memahami hati dan ingin menenangkan Safa anakku. " Ah, maafkan aku anakku, mama terlalu bodoh melakukan hal yang tak pernah mama pikirkan dahulu. " tiba-tiba perasaan sedih tiba dalam alam pikiranku.<br /><br />Ketika ambulance sudah mendekat di pintu rumah sakit, pintu ambulance segera dibuka. Jasadku didorong menuju ruang gawat darurat. Di situ tampak kulihat begitu banyak orang-orang mengiringi kasur dorong yang sedang mendorong jasadku. Dalam rombongan itu, aku melihat suamiku. Baru kali ini kulihat muka suamiku berlumuran air mata. Sesaat aku begitu terharu dengan suasana ini. Tapi, lagi-lagi aku teringat akan berita perselingkuhan suamiku. Amarahku kembali membuncah. Aku benar-benar marah dan sakit hati karena telah dihianati oleh suamiku yang dulu pernah mencintaiku. Oleh karenanya kutempuh jalan yang teramat bodoh ini. Meminum racun karena berharap semuanya kusudahi. Tapi, kini. Aku begitu menyesal. Semuanya tak bisa hilang begitu saja. Aku harus menebus dosa besar ini di hadapan Sang Illahi. Dan akulah orang yang paling merugi, karena sudah kalah di dunia, di akhirat menebus dosa. Tapi semuanya tekah terlambat. "Maukah Tuhan mengembalikan lagi aku ke alam dunia ?" aku kembali menangis, hanya ini yang kumampu.<br /><br />Aku mendekati jasad suamiku. Kucoba menatap matanya yang sembab. Sesekali ia usap pipinya yang dijatuhi bulir-bulir air matanya. "Ma, kenapa sampai hati kamu berbuat seperti ini ? Apa Salahku ? Aku begitu teramat mencintaimu !" Samar-samar kudengar kata-katanya menyentuh aku. "Kuatkan jiwamu Ma, Ayo kembalilah pada aku dan Safa anak kita ". Aku kembali mematung. Tak bisa berkata apa-apa lagi. Tiba-tiba aku dipenuhi rasa mual yang tak terelakkan lagi.<br /><br />Aku muntah. Muntahanku begitu banyak dengan aroma baygon yang teramat pekat. "Alhamdulillah. . . . ", berkali-kali kudengar para suster yang sedang berusaha mengobatiku mengucap syukur atas apa yang telah terjadi pada diriku. Mungkin karena begitu shock dan lemah, aku tertidur lagi.<br /><br />Saat mataku kubuka perlahan-lahan, kulihat suamiku dan Safa sedang tertidur di ranjang pembaringanku. Perlahan ku usap rambut suamiku. Suamiku terbangun. "Ma, jangan ulangi lagi perbuatan ini ya Ma ! Kami semua sayang Mama" Ia segera memelukku. Tak beberapa lama lagi, Safa terbangun. "Safa, terima kasih ya, Kamulah yang menolong Mama " , ucapku lirih. Kami sama-sama berpelukan dengan berurai air mata. Dalam hati aku berucap hamdallah, Tuhan masih memberiku kesempatan untuk hidup yang kedua kalinya. </span></span></span>Siti Arofahhttp://www.blogger.com/profile/09664214601828767346noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6578368385395826261.post-88504093870238466522019-08-29T00:04:00.000-07:002019-11-30T06:04:39.825-08:00Pernikahan yang Indah<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><span style="font-size: small;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXVbJ3TVJkkqQmkv8FAeIgy0zrsskuXzb25tM8QJ7sNB11s1cEBcZ6T6-di39zngtw0yn7-2ST8C02yXNz5ZHgFs4E4AETRFEMt28QyZ2YeIJPh7IgLjxJstsjgvRkOP2CtRFmr1tLCUfd/s1600/pernikahan.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="194" data-original-width="259" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXVbJ3TVJkkqQmkv8FAeIgy0zrsskuXzb25tM8QJ7sNB11s1cEBcZ6T6-di39zngtw0yn7-2ST8C02yXNz5ZHgFs4E4AETRFEMt28QyZ2YeIJPh7IgLjxJstsjgvRkOP2CtRFmr1tLCUfd/s1600/pernikahan.jpg" /></a></span></span></div>
<div align="justify">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><span style="font-size: small;"><a href="http://kumpulancerpenkita.blogspot.com/"><b><span style="font-family: arial; font-size: 100%;">Kumpulan Cerpen Siti Arofah</span></b></a><span style="font-family: arial; font-size: 100%;">. Saat kami dinyatakan syah, kucium tangan suamiku dan suamiku membalas dengan mencium keningku. Berkali-kali aku mengucap hamdallah , tanda syukurku kepada Ilahi. Semua begitu indah ku rasakan, bahkan tak kuasa tak terasa air mataku menetes membasahi pipiku. Kedua orang tuaku dan kedua orang tua Kak Hasan tampak sangat bahagia sekali, senyum mereka nampak selalu mengembang tuk beberapa saat. Sanak saudara dan handai taulan menghadiri akad nikah pernikahanku. Senyum kebahagiaan menuai di sana sini.</span></span></span><br />
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: arial; font-size: 100%;"></span></span></span><br />
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: arial; font-size: 100%;"></span></span></span><br />
<a name='more'></a><span style="font-size: small;"><span style="font-family: arial; font-size: 100%;"><br /></span><span class="fullpost"><br /><span style="font-family: arial; font-size: 100%;">Pesta pernikahanpun digelar. Hening, namun berkesan. Kami terpisah agar para tamu dipisahkan dari laki-laki dan perempuan. Semua undangan dengan senyumnya memberikan ucapan selamat. Meski melelahkan, tapi memberikan kebahagiaan tersendiri bagi diriku, bukankah pernikahan adalah moment yang ditunggu-tunggu bagi setiap insan ? Aku bagai seperti Ratu, meski hanya dalam waktu sehari. Semuanya serba dibantu orang.<br /><br />Sebelumnya aku sama sekali tak mengenal Kak Hasan, aku dikenalkan oleh ustadzah, guru di pesantrenku. Kala itu, ustadzah menanyakan kepadaku, "Apakah kamu siap menikah bila ada yang melamarmu ?" dengan berbekal ilmuku yang sebentar lagi kurampungkan aku menjawab , " Insya Allah saya siap, tapi tunggu saya lulus dulu dari sini ". Ternyata benar, selang seminggu kemudian, ustadzah memberitahukan kepadaku bahwa ada yang ingin dicarikan jodoh sebagai calon istrinya. Ustadzah menanyakan kepadaku, "apakah aku mau diajak untuk ta'aruf ?" Dengan malu-malu dan pandanganku kutundukkan aku mengiyakannya.<br /><br />Di saat ta'aruf, jantungku begitu berdegub kencang. Aku tak mengerti mengapa hatiku jadi tak menentu begini. Padahal kami saling ditemani oleh ustadz dan ustadzah kami serta kedua orang tuaku. Kami diijinkan saling menatap hanya satu kali dan berbicara cukup sedikit saja. Meski demikian, untuk berkatapun rasanya sulit sekali kata-kata yang ingin kukeluarkan dari mulutku. Akhirnya aku hanya mampu mengatakan "iya" dan "tidak". Sama sekali tak ada pertanyaan dari diriku. Kedua orang tuakupun sepertinya menyetujuinya, mereka memasrahkan semuanya pada diriku.<br /><br />Malamnya, aku sholat tahajud, memohon petunjuk Allah. Kupasrahkan segalanya pada Illahi. Jodoh, maut dan rizki adalah rahasia Illahi. Aku harus ikhlas atas apa yang akan Allah berikan kepadaku kelak. Jika memang Kak Hasan itu jadi mau memilihku sebagai istrinya, aku siap. Dan jika tidak, aku harus terima kenyataan ini dengan berlapang dada.<br /><br />Dan dua hari kemudian, ustadzah membawa kabar bahagia itu kepadaku. Kak hasan mau melamarku. Sesegera itu, kuberitahu kabar ini kepada kedua orang tuaku. Orang tuaku benar-benar bahagia sekali, mereka memelukku. Mereka bahagia karena telah berhasil membawa anaknya ke jalan yang benar, jalan yang disukai oleh Allah. Di zaman sekarang ini tak sedikit orang yang terjerumus masuk ajakan syetan-syetan laknatullah. Mereka dengan tanpa malu melakukan sex before married. Padahal jelas-jelas di dalam Al Qur'an dijelaskan, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.<br /><br />Lagi-lagi aku bersyukur kepada Sang Illahi, pencipta alam semesta ini. Acara pesta pernikahan kami pun usai. Kami tidur bersama dalam satu kamar. Kami saling berpandangan dengan senyum yang sangat indah. Layaknya sebagai sepasang kekasih, kami saling menikmati malam yang sangat indah itu. Begitu syahdu seiring suara jangkrik yang saling saut menyaut dengan lampu kamar temaram mengiringi malam penuh kebahagiaan kami berdua.</span></span></span></div>
Siti Arofahhttp://www.blogger.com/profile/09664214601828767346noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-6578368385395826261.post-84506212727247576022019-04-16T23:18:00.000-07:002019-11-30T05:59:09.380-08:00Rahma, Istriku<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBjbF7-IgceROGiOGhFzp6HZqo0Ogn90A3eunzs_AIMwREOKFRt4LGnLeLvaI3Z9idMWG7XJ5sGfKvNGttT-DebO-Kky6dTzfZEq89xuVnzJp80FxpPxjmr_SmqMOlC24eflS17VgtIVSQ/s1600/istriku.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="Rahma, Istriku" border="0" data-original-height="194" data-original-width="259" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBjbF7-IgceROGiOGhFzp6HZqo0Ogn90A3eunzs_AIMwREOKFRt4LGnLeLvaI3Z9idMWG7XJ5sGfKvNGttT-DebO-Kky6dTzfZEq89xuVnzJp80FxpPxjmr_SmqMOlC24eflS17VgtIVSQ/s1600/istriku.jpg" title="Rahma, Istriku" /></a></div>
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><span style="font-size: small;"><a href="http://kumpulancerpenkita.blogspot.com/">Kumpulan Cerpen Siti Arofah</a>. Seketika istriku jatuh tergeletak di teras ruang tamu dalam sebuah pukulan dari tanganku. Namun setelahnya istriku sama sekali tak bergerak. Aku mencoba menyentuh wajahnya. Ia hanya diam membisu. Kucoba menepuk-nepuk pipinya, namun istriku sama sekali tak menjawab apapun. Tampak darah mengalir di dahinya. Serta merta kugendong tubuhnya yang ringan menuju ke mobil.</span></span><br />
<br />
<br />
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><span style="font-size: small;"></span></span><br />
<a name='more'></a><span style="font-size: small;"> </span><br />
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><span class="fullpost" style="font-size: small;"><br />"Bi, tolong di rumah saja ya, saya mau bawa ibu ke rumah sakit", aku hanya bicara seperlunya saja. Wajah bibi, pembantu rumahku tampak gusar, seolah ia mengetahui apa yang telah terjadi saat itu. Wajar jika ia tak berani berbuat apa-apa saat kami sedang ribut.<br /><br />Di rumah sakit, istriku langsung ditempatkan di UGD. Aku hanya bisa menunggu di luar ruangan. Saat-saat penantian ini membuatku tersiksa. Pikiranku melayang - layang ke sana kemari tak beraturan. Antara cemas dan takut menghantui adrenalinku. Cemas akan bagaimana nasib istriku kelak. Takut jika seandainya istriku tak tertolong, aku yang bersalah ! <br /><br />Kali ini aku menangis. Air mata ini nampaknya sangat sulit kubendung. Kenapa aku begitu tega terhadap istriku ? Aku tau, jika istriku sabar menghadapi aku yang sangat-sangat egois terhadapnya selama ini. Aku marah karena istriku memanggil aku dengan sebutan "KAMU". Padahal jauh di balik itu rupanya istriku telah memendam rasa kecewa terhadapku. Aku pernah menyamakan dirinya sebagai pelacur, karena di rumah ia mengenakan pakaian yang seksi. Sedang aku tak menyukainya karena kakak perempuanku sedang menginap di rumah kami. Aku sadar seharusnya aku tak menyebutnya atau menyamakan dirinya seperti itu. Tapi aku kelepasan bicara. Tapi mengapa ego ini menyelimuti aku, hingga tak ada kata maaf sedikitpun untuknya.<br /><br />Aku juga sering melontarkan kata-kata yang seharusnya sangat tak layak untuknya. Aku sering menyebutnya sebagai Tolol dan bodoh. Padahal berkali-kali istriku mengingatkan aku, "Mencela seorang muslim merupakan kefasikan" dan ia juga bilang, " mengapa kata-kata itu berani ia ucapkan untuk orang yang akan menemani hidupnya ? mengapa dengan orang lain aku masih bisa menjaga ?" . Ah, Mengapa aku tak mau mendengar kata-katanya. <br /><br />Tertata lagi kenagangan-kengan manis, saat aku dengannya masih menjadi sebuah pasangan yang indah. Betapa ia menjaga anak-anakku dengan rasa kasih sayangnya meski terkadang aku iri, sebab ia begitu sangat sayang terhadap anak-anakku. <br /><br />Tersadar, aku tengah menunggu di ruang tunggu. Kuusap beberapa kali air mata yang tumpah begitu saja. Yaa . . . Tuhan, maafkan aku. Aku begitu menyia-yiakan dia. Aku benar-benar menyesal Tuhan. Beri aku kesempatan untuk membalas apa yang telah kulakukan untuk istriku selama ini. Aku janji tak akan menyia-nyiakan dirinya lagi.<br /><br />Sesaat dokter keluar dari pintu UGD. "Bapak Raka ?" Aku berdiri. Namun dokter tersebut nampak gelisah, meski berusaha untuk tenang. "Maaf, istri anda tak tertolong lagi." Seketika itu aku berlari ke jasad istriku yang kini sudah tak bernyawa lagi. "Rahma istriku, maafkan aku !" aku berteriak keras, seolah aku menyesal untuk seumur hidup.<br /><br /></span></span>Siti Arofahhttp://www.blogger.com/profile/09664214601828767346noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-6578368385395826261.post-68183658010415054912019-03-12T22:19:00.000-07:002020-01-12T14:10:05.860-08:00Menangisi Sebuah Cinta<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-family: "Trebuchet MS", sans-serif;"><span style="font-size: small;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgskbkhNGNEz7Vusm3cdCfiGdiUIC5NqzVHQakSsr24DLojsk7u3DCTZd9xt_8YxFpZB1JxqCTm-i2kHeNG4yF9yZj1RyFocVU10gaVzeWMa6ek-iclpfaCtMqMwJ7FZSou2hQABwvs6vbE/s1600/menangisi+cinta.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="Menangisi Sebuah Cinta" border="0" data-original-height="263" data-original-width="192" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgskbkhNGNEz7Vusm3cdCfiGdiUIC5NqzVHQakSsr24DLojsk7u3DCTZd9xt_8YxFpZB1JxqCTm-i2kHeNG4yF9yZj1RyFocVU10gaVzeWMa6ek-iclpfaCtMqMwJ7FZSou2hQABwvs6vbE/s200/menangisi+cinta.jpg" title="Menangisi Sebuah Cinta" width="146" /></a></span></span></div>
<span style="font-family: "Trebuchet MS", sans-serif;"><span style="font-size: small;">Kali ini aku tak mampu lagi membedakan antara rasa benci dan cinta. Seolah keduanya hanya dibatasi oleh sehelai benang yang sangat tipis sekali. Terkadang rasa cinta dan sayang itu hadir menyelimuti diri mengenang masa-masa indah dulu yang pernah kami reguk bersama. Namun tiba-tiba saja rasa cinta ini berubah menjadi benci seketika kala teringat betapa sakitnya aku diperlakukan olehnya seperti ini. Luka batin lebih menyisakan bekas yang akan sulit untuk hilang, akan butuh waktu yang lama untuk bisa memaafkan sebuah kesalahan dari pasangan kita.</span></span><br />
<span style="font-family: "Trebuchet MS", sans-serif;"><span class="fullpost" style="font-size: small;"><br />Dengan Irwan lah dulu ia yang selalu aku bangga-banggakan di depan keluargaku. Tubuhnya tegap dengan postur tubuh yang lumayan tinggi seperti atlet. Jika berjalan tampak bahu-bahunya sejajar karena latihan aerobik yang telah dijalaninya beberapa tahun belakangan ini. Senyumnya begitu menggoda, tak heran jika ABG pun doyan menggodanya. Ah, jika saja aku wanita bertype pencemburu, mungkin sudah ribuan kali aku harus marah padanya lantaran begitu banyak yang mencoba menggodanya di depan bola mataku sendiri. Tapi Irwan selalu meyakinkan diriku, bahwa cintanya tetap hanya untukku seorang. Rasa cinta bisa membutakan mata hati kita, menelantarkan seribu alasan untuk dapat tetap memilih Irwan sebagai tempat terakhirku berlabuh.<br /><br />Dulu cinta Irwan begitu menggebu-gebu padaku. Menderu-deru bagai deru ombak laut yang tak pernah padam diterpa riuhnya angin samudra. Dia begitu lihai merebut hatiku. Padahal dulu, begitu banyak laki-laki selain Irwan yang jatuh hati padaku. Tapi memilih Irwanlah kata hatiku. Aku sampai terpedaya oleh bujuk rayunya, aku begitu percaya terhadap segala bualan cinta Irwan. Hingga akhirnya kami merajut kasih dalam sebuah mahligai rumah tangga.<br /><br />Begitu buah cinta pertama kami hadir ditengah-tengah kehidupan kami yang masih dinaungi oleh percikan kehangatan cinta kami berdua, Irwan menyuruhku untuk berhenti bekerja. Irwan berharap agar aku bisa memberikan perhatian yang penuh untuk anak kami. Meski saat itu karierku sedang merambah, namun kusadari, anak adalah segalanya bagiku. Aku merasa cukup dengan uang yang diberi dari keringat suamiku sendiri. Akhirnya kujalani hidup ini untuk membesarkan anakku dengan tanganku sendiri. Sebuah pilihan yang mempertaruhkan segala yang telah kumiliki selama ini.<br /><br />Saat itulah, ternyata Irwan hanya mencari-cari alasan agar ia dapat melenggang bebas tanpa diketahui oleh aku. Irwan ternyata punya selingkuhan di kantor. Dan berita ini baru kudengar setahun setelah aku berhenti bekerja dari Nina, teman sekantorku dulu yang pernah menjadi sahabatku. Aku menangisi kenyataan ini. Begitu pahit teramat sangat harus kutelan mentah-mentah berita yang baru kudengar ini. Mengapa Irwan begitu tega menyakiti hatiku dan terutama hati Cyntia, anak kami satu-satunya. Dan wanita seligkuhan itu, lagi-lagi aku tak percaya, ia adalah temanku sendiri. Apakah tak pernah terpikir dari dirinya, bagaimana jika dia sedang berada di posisi aku ? Mengapa harus mengganggu rumah tangga kami yang awalnya penuh ketentraman ? Aku kembali menangis, jika harus selalu mengingat dan mengingat tentang apa yang sedang terjadi pada rumah tangga kami.<br /><br />Sering aku dapati di kantong bajunya beberapa tissue dengan bekas lipstick. "Siapa lagi kalo bukan milik seorang wanita" batinku memerangi kegundahan ini. Aku sama sekali tak pernah menanyakan milik siapa tissue itu. Kubiarkan Irwan bebas melakukan apa yang dia kehendaki, meski batinku harus berperang melawan sakit yang tiada terperi. Aku hanya mampu menjadi wanita yang rapuh. Sesaat aku begitu tegar, tapi kemudian menangis lagi. Hanya itulah sebatas yang bisa aku lakukan. Seperti wanita-wanita cengeng lainnya, yang hanya mampu menangis tanpa bisa berbuat apapun untuk membela dirinya. Tubuhku kian hari digerogoti oleh kerapuhan hati. Semakin hari berat badanku selalu berkurang. Dan Irwan sama sekali tak punya hati. Mungkin cintanya telah padam untukku. Aku seperti menjalani hidup dengan terseok seok, yang mengemis untuk sebuah cinta dari Irwan untukku dan juga untuk anakku.<br /><br />Aku percaya, dalam setiap proses hidup pasti kita mendapat ujian dari sang Illahi. Dan aku memilih diam, mengikuti apa kemauan Irwan, suamiku. Meski harus kujalani hidup penuh dengan cinta semu belaka dari suamiku sendiri.</span></span>Siti Arofahhttp://www.blogger.com/profile/09664214601828767346noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-6578368385395826261.post-85745461147269242542019-02-19T02:22:00.000-08:002019-11-30T06:01:55.116-08:00Sebuah Nyawa untuk Ibu<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhEOuOB6lJ8FrfuMZGn8xSpcYJlZfQhOPruDWT0butXvoxFT7tIOuN087Ckxk1VskyUYiMXUm-u20CKusw27bkUfsGaWUFlmdXhyphenhyphenPj9b8V-xktDcB1uTizwFFHeNgy9rAi04gF4LBHt902C/s1600/2.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="Sebuah Nyawa untuk Ibu" border="0" data-original-height="1200" data-original-width="1600" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhEOuOB6lJ8FrfuMZGn8xSpcYJlZfQhOPruDWT0butXvoxFT7tIOuN087Ckxk1VskyUYiMXUm-u20CKusw27bkUfsGaWUFlmdXhyphenhyphenPj9b8V-xktDcB1uTizwFFHeNgy9rAi04gF4LBHt902C/s320/2.jpg" title="Sebuah Nyawa untuk Ibu" width="320" /></a></div>
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><span style="font-size: small;"><a href="http://kumpulancerpenkita.blogspot.com/">Kumpulan Cerpen Siti Arofah</a>. Aku benar-benar sedih. Bi Inah mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di rumahku. Padahal ia adalah satu-satunya temanku di rumah. Kedua orang tuaku sibuk bekerja mencari nafkah yang katanya guna memenuhi kebutuhan hidupku. Mereka berangkat dari jam enam pagi dan baru kembali ke rumah pukul 08 malam.</span></span><br />
<br />
<br />
<br />
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><span style="font-size: small;"></span></span><br />
<a name='more'></a><span style="font-size: small;"> </span><br />
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><span class="fullpost" style="font-size: small;"><br />Bi Inah pembantu yang luar biasa bagiku. Ia begitu perhatian padaku, tidak seperti pembantu - pembantu yang lain yang kerap berbuat hal-hal yang tidak menyenangkan pada anak majikannya yang sering aku lihat pada siaran-siaran berita di televisi. Dan aku hampir menganggapnya sebagai ibuku sendiri. Bi Inah sama sekali tak pernah marah, aku tahu jika ia kesal ia tumpahkan segala kemarahannya ke belakang. Dan jika sudah demikian, buru-buru aku meminta maaf padanya, lalu bi Inah memelukku sambil rambutku diusap-usapnya. Maklumlah, aku adalah seorang bocah lelaki kecil yang tengah berusia 10 tahun. Wajar saja jika aku agak sedikit nakal, disamping aku adalah anak semata wayang. Entahlah, aku belum mengetahui secara pasti mengapa ayah dan ibu belum memberiku seorang adik sebagai teman.<br /><br />Aku tau, jika bi Inah teramat berat meninggalkan aku, tapi bi Inah tidak mampu memilih lagi, ia harus segera mengurusi suaminya yang tiba-tiba saja sakit keras. Sekarang, teramat susah untuk mencari pembantu yang memiliki kualitas sebaik bi Inah. Mungkin bisa saja orang tuaku mendapatkan penggantinya, tapi paling tidak mereka bertahan hanya dalam hitungan bulan. Tapi sampai hari menjelang keberangkatan bi Inah, kedua orang tuaku belum juga mendapatkan pengganti bi Inah. Bi Inahpun berangkat juga akhirnya meski dengan hati terpaksa. Berkali-kali ia memeluk dan menciumku. Akupun menangis, meraung-raung seakan tak merelakan kepulangan bi Inah.<br /><br />Malam harinya, ibu menemaniku. Ibu mengharapkanku menjadi anak yang mandiri tanpa pembantu. " Semoga kita cepat mendapat pengganti bi Inah ya." Kata-katanya membuatku sakit. Bagaimana mungkin aku harus berada di rumah sendiri ? Tapi, mau tak mau, aku harus melakukannya. "Iya, bu. Aku coba dech." meski sejujurnya tak mau, tapi aku takut ibu sedih. Aku benar-benar tak ingin menyusahkannya. Aku tau, jika ibu menyayangiku. Meski sesibuk apapun dirinya, ia selalu menyempatkan waktunya buat aku. Kadang ibu mau ku ajak bermain monopoli atau ular tangga, ia juga mau melihat hasil lukisanku. Sesekali saat aku merasa takut, ibulah yang menemaniku tidur di kamar sambil membacakan buku cerita sampai aku terlelap tidur.<br /><br />Sehari dua hari, aku telah terbiasa ditinggal oleh kedua orang tuaku. Menyendiri ditemani sebuah televisi 24 inch berlayar datar dengan dilengkapi home theater untuk sementara mampu melupakan kesendirian. Menunggu kehadiran kedua orang tuaku pulang dari bekerja merupakan waktu yang sangat kutunggu-tunggu. dan setelah dua minggu, tiba-tiba aku pergi kesebuah gudang. Gudang itu terletak di belakang rumahku yang terpisah dari rumah. Ku temukan sebuah kotak kayu yang telah terbasut oleh debu-debu yang sangat tebal. Aku berusaha meniup debu-debu itu, menerka apa yang ada dalam kotak itu. Terpasung sebuah tulisan "a mistery, Do not open this box". Meski aku tahu apa arti tulisan itu, aku tetap ingin membukanya. "Yess, kotak itu berhasil kubuka !" gembira sekali aku setelah berhasil membuka kotak yang membuat aku penasaran. Ternyata isinya hanya sebuah boneka. Akan tetapi, wajah boneka itu sedikit berbeda dengan layaknya boneka-boneka lainnya. Ia tampak menyeramkan. Aku seperti terhipnotid, aku membawa boneka itu menuju rumah kami.<br /><br />Segera aku memasukkan boneka itu ke dalam mesin cuci. Sambil menunggunya selesai, aku menonton serial spongeBob di televisi. Selang setengah jam telah berlalu, aku meraih boneka yang telah kering dan cukup bersih. Ia ku letakkan di atas lemari belajarku.<br /><br />Malamnya aku bermimpi. Boneka itu bisa berbicara padaku dalam mimpi itu. " Kamu tidak akan kesepian lagi, karena ada aku !" cuma itu yang dia katakan. Akupun terbangun, membuat rasa penasaranku kian menderu-deru. "Ah, cuma mimpi, " sergahku seolah tak percaya pada mimpi.<br /><br />Anehnya, setelah aku menemukan boneka itu, beberapa teman-temanku mati dengan tubuh mengenaskan dan tanpa sebab yang jelas. Aku mulai berpikir, dan mencoba merunut apa yang telah terjadi. "mengapa teman-temanku bisa mati setelah mereka mengolok-ngolok aku ?" pertanyaan ini membuatku mabuk, sebab aku tak tau jawabannya. Akupun tertidur karenanya.<br /><br />Suatu saat ibu marah padaku. Aku lupa mengunci pintu. Ibu mendapati diriku di depan televisi sedang tertidur pulas. Aku mengerti aku salah. Dan aku meminta maaf padanya. Dan malamnya, aku bermimpi. Aku melihat boneka menyeramkan itu hendak membunuh ibuku. "Hei, jangan kau bunuh ibuku !"<br />Boneka itu berbalik arah menuju diriku, "tapi dia telah menyakiti hatimu ".<br />" Jangan, biar bagaimanapun dia ibuku, aku sangat sayang padanya. "<br /><br />Ibu tampak sangat ketakutan sekali. Ia jatuh tak berdaya di sebuah lantai di serambi belakang rumah kami. Dan ketika boneka itu sudah hampir mendekati ibuku, aku segera menghalau pecahan gelas yang dipegang oleh boneka itu. Pecahan gelas itu mengenai dadaku. Darah segar mengalir deras dari dadaku yang terluka. Ibuku segera memangku diriku, ia menangisi apa yang telah terjadi pada diriku. "Nak, bertahan Nak. Kuatkan dirimu." Tapi Tuhan berkata lain, darah yang mengalir rupanya tak mau berhenti. Tiba-tiba aku menghembuskan napas untuk yang terakhir kali dalam pelukan ibuku. Seketika itu ibuku berteriak keras sekali, " Anakku . . . . . . . . . !"</span></span>Siti Arofahhttp://www.blogger.com/profile/09664214601828767346noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6578368385395826261.post-51426228571734222942018-10-13T15:00:00.000-07:002019-11-30T06:06:10.960-08:00Aku berhenti di Sebuah Dermaga Hati<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><span style="font-size: small;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjfNWfQs7rMlVkYs_w5uJgnQMDGpHs3A8MWHt5BgiPiMGq3UOByOc5zGTZ_d0eg7DRsmLdmE7AZ-TDhJfC-Ac8ftPp4xCtHa-NdQqdk1SphIR1tOrrPiy8bKEVLGOlfbOrkUeAe99pu2egb/s1600-h/nikah.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img alt="Aku berhenti di Sebuah Dermaga Hati" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5392209349156380978" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjfNWfQs7rMlVkYs_w5uJgnQMDGpHs3A8MWHt5BgiPiMGq3UOByOc5zGTZ_d0eg7DRsmLdmE7AZ-TDhJfC-Ac8ftPp4xCtHa-NdQqdk1SphIR1tOrrPiy8bKEVLGOlfbOrkUeAe99pu2egb/s400/nikah.jpg" style="float: left; height: 104px; margin: 0pt 10px 10px 0pt; width: 150px;" /></a><a href="http://kumpulancerpenkita.blogspot.com/" style="font-weight: bold;">Kumpulan Cerpen Siti Arofah</a>. Akhirnya kutemukan juga belahan hati yang akan menemaniku disepanjang sisa umurku. Ya.. Aku pada akhirnya menikah, meskipun kini usiaku telah 37 tahun. Sebuah angka yang cukup dewasa bagi seorang wanita yang baru akan melangkah di sebuah jenjang pernikahan. Aku melangkah seperti tertatih-tatih berharap kuraup setitik buih lautan dari syurga Tuhan semesta alam.</span></span><br />
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><span style="font-size: small;"></span></span><br />
<a name='more'></a><span style="font-size: small;"> </span><br />
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><span class="fullpost" style="font-size: small;"><br />Sebelumnya, sama sekali asa itu tak pernah terselip dalam otakku, aku mengira semuanya sudah mentok. Usiaku sudah tak cocok lagi untuk menikah. Apalagi aku adalah seorang wanita, di usiaku kini tentu adalah usia yang rentan untuk mengandung dan melahirkan. Terutama, akan lebih menyenangkan bila dengan seorang wanita yang lebih masih muda. Toh aku harus bersaing dengan gadis-gadis lain yang lebih muda dariku. dari situlah nyaliku beralun mundur seolah bagai sebuah daun yang mulai kering, jatuh ke bumi lalu dihembus oleh sebuah angin, berterbangan tak tentu arah.<br /><br />Sebuah layang-layang akan terbang tinggi mengikuti arah angin, ia tak pernah lelah meskipun telah terbang sekian lama. Namun suatu saat ia akan tumbang, karena dikalahkan oleh sebuah layang-layang lainnya. Begitupun dengan diriku. Meski aku telah melanglang buana, pergi dari sebuah perahu layar ke perahu layar lainnya, namun tak pernah kutemui dermaga yang tepat, tempat kutambatkan hatiku padanya. Ah, terlalu banyak kriteria-kriteria yang ada dalam benakku. Padahal kini aku baru menyadari bahwa tak ada seseorangpun di dunia ini yang sempurna. Kesempurnaan hanya milik Sang Illahi semata.<br /><br />Jika mau dirunut, sebenarnya wajahku terbilang cantik, dengan tinggi 165 cm, berkulit kuning langsat, banyak beberapa teman lelaki yang kagum padaku. Sudah banyak kado-kado yang kuterima dari mereka. Aku tahu maksudanya, mereka ingin menarik hatiku. Bodohnya aku yang saat itu kian hari semakin sombong, aku mulai memilih-milih, mana yang sekiranya cocok denganku. Rupanya pilihanku salah, dia ternyata mendua. Padahal hubungan kami berjalan sudah lima tahun lamanya. Sungguh sia-sia sajalah kukira selama itu aku dengannya. Penyesalan ini membuat aku menjadi trauma jika melihat laki-laki. Pintu hatiku seakan tertutup pada setiap lelaki apapun untuk selama-lamanya.<br /><br />Untuk sementara waktu Aku berusaha sekuat jiwa untuk melupakan seseorang berjenis lelaki. Entahlah, aku belum bisa memastikan sampai kapan luka ini bisa kulupakan. Aku terbenam dalam lautan kesibukan bekerja. Sampai aku diangkat menjadi vice president di sebuah bank Swasta ternama di Jakarta. Tapi nyatanya, hati kecil tak mampu berbohong. Ia rupanya selalu hadir sesekali dalam benak sanubari ini. Seperti ada yang berbisik padaku "Kapan kau menikah ?" Belum lagi dari pihak keluarga, terutama Ibu. Ibuku lah yang selalu bertanya dan bertanya. Sebuah pertanyaan yang membuat jenuh jika harus menjawab.<br /><br />Saat itu aku merasa hampa. Aku selau dikejar-kejar oleh pertanyaan-pertanyaan yang datang dari setiap lamunanku. seperti, "Apakah kau tak ingin ada seseorang di sampingmu di kala kau membuka mata saat terbangun dari tidurmu ?" dan "Apakah kau ingin mati tanpa ditemani sesorangpun ?" bulu kudukku merinding, seolah aku ingin pergi dari kenyataan. Tapi aku tak mau disebut sebagai manusia pengecut yang takut menjalani hidup ini, lantas pergi dengan jalan pintas yang sangat bodoh dan mamalukan.<br /><br />Lalu Aku mulai dekat dengan agama. Seiring waktu, Aku sering menghadiri majelis ta'lim. Setiap akhir ceramahnya, aku selalu berkonsultasi secara pribadi dengan ustadzahnya. Ustadzahnya sangat baik, tutur katanya lembut, sungguh membuat hati menjadi sejuk sesejuk embun pagi yang jatuh dari pucuk daun di pagi hari. Dari sinilah kisahku berlanjut, Sang Ustadzah mengetahui bahwa aku belum menikah, ia mengutarakan akan membantu mencari jodoh untukku. Setelah kami saling diperkenalkan di suatu pertemuan di rumahku, kami sepakat menikah. Sebuah waktu yang tidak ingin diulur-ulur lagi. Bukankah sebuah kebaikan sebaiknya dilakukan dengan sesegera mungkin ?<br /><br />Kini, aku mulai mampu melihat bintang-bintang di awan dengan penuh cahanya gemerlap saling berkelap-kelip seakan mereka tersenyum padaku. Ah, mengapa tak pernah kukagumi dari dulu cahayanya ? Mengapa baru kali ini setelah aku menikah aku baru bisa memahami semua keindahan Sang Illahi.</span></span>Siti Arofahhttp://www.blogger.com/profile/09664214601828767346noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6578368385395826261.post-51498314746677152202010-04-24T01:10:00.000-07:002019-11-24T18:40:29.005-08:00Di Antara Bimbang dan Ragu<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjavnmQPFs8Xp-UDeIFRSj_fJi6Hn0M9tLm9-r97FxTTKClHHY_yOcci8FZY3RN8gipM_1pE6A41PLqzwaqhfBkAo5QYjBXyzD0FDnpsZxt5n81npccIHJi5bEzv7-xPaWFbPK3tvIXfrI3/s1600/1.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="Di Antara Bimbang dan Ragu" border="0" data-original-height="900" data-original-width="1600" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjavnmQPFs8Xp-UDeIFRSj_fJi6Hn0M9tLm9-r97FxTTKClHHY_yOcci8FZY3RN8gipM_1pE6A41PLqzwaqhfBkAo5QYjBXyzD0FDnpsZxt5n81npccIHJi5bEzv7-xPaWFbPK3tvIXfrI3/s320/1.jpg" title="Di Antara Bimbang dan Ragu" width="320" /></a></div>
<a href="http://kumpulancerpenkita.blogspot.com/">Kumpulan Cerpen Siti Arofah</a>. Sungguh indah, pantai Nias ini. Dengan hamparan pasir putih nan indah, hijaunya nyiur di pantai, tiupan angin yang mendayu-dayu pakaian yang kukenakan, lanscape sunset yang mengingatkanku akan kenangan masa lalu aku bersama suamiku, semuanya lengkap tertata di depan mataku kali ini. Ya, aku seorang diri di sini, berharap berlari menjauh dari semua masalah yang kini sedang menghantui diriku. Padahal aku tahu, suamiku masih berharap aku kembali dalam dekapan hangatnya.<br />
<span class="fullpost"><br />Meski aku berusaha melupakan sejenak permasalahan ini, tetap saja permasalahanku begitu angkuh hadir dalam bayang-bayang ingatan ini. Indahnya pantai Nias tak juga bisa merubah akan kegundahan hatiku. Air mata ini meleleh jatuh satu demi satu tak terelakkan lagi, saat ku teringat apa yang sedang terjadi antara aku dan Alexa, suamiku. Haruskah kuhapus kenangan manis itu ? Sebuah pertanyaan yang tak pernah bisa aku jawab sampai kini.<br /><br />Jika dirunut ulang, kisah awal cinta kami berdua begitu indah dan kuat. Ia teramat setia bagiku. Penantiannya begitu kuat, saat dia menikahiku setelah aku menyelesaikan kuliah S1-ku di perguruan tinggi Negeri terkemuka di Jogja. Padahal, baginya begitu mudah mencari gadis lain pengganti diriku, mengingat Alexa memiliki postur tubuh ideal dan ketampanan yang tak diragukan lagi. Apalagi, dia sudah menjadi seorang yang mapan, dengan bekerja di sebuah perusahaan bonafit dengan jabatan yang karriernya sedang beranjak naik. Ah, Wanita mana yang tak melirik dirinya !<br /><br />Antara Jakarta dan Jogja, meski jarak memisahkan aku dengannya, cinta kami berakhir pada sebuah pernikahan yang indah. Jalinan kasih yang begitu teramat kuat selalu menyertai kehidupan kami setelahnya. Tahun-tahun pertama dan kedua pernikahan kami nampak begitu bahagia. Aku dan Alexa begitu mabuk dalam keindahan kasih yang begitu dalam.<br /><br />Namun di tahun ketiga mulailah aral yang tiada pernah aku kira sebelumnya. Kami belum dikaruniai seorang anak. Mungkin Tuhan belum mempercayakan kami, mungkin perjuangan kami belum cukup selama ini. Kegundahan ini membuatku gelisah, sekecil apapun bisa menjadi pertengkaran-pertengkaran yang sulit dihindari. Aku menjadi seorang yang sangat sensitif. Bagaimana mungkin buah cinta hadir jika kami saling bertengkar ?<br /><br />Tapi, Alexa begitu tegar. Di setaip marahku, ia selalu menjadi pahlawan bagiku. Di pagi hari, kala aku membuka mata, semuanya telah terhidang manis di meja makan. Dari Nasi, lauk pauk dan minuman hangat semuanya sudah siap untuk disantap untuk kita berdua. Seisi rumah juga sudah rapi dan bersih. Alexa sudah mengepel lantai dengan keharuman karbol yang kami suka. Tapi, lagi-lagi aku begitu angkuh padanya, hingga wajahku masih berkerut tanpa senyuman sedikitpun. Aku masih marah ! Rupanya Alexa begitu sabar padaku. Ia sama sekali tak menyerang balik kekonyolanku. "Hayuk kita makan, sayang !" Akhirnya aku luluh juga akan panggilan sayangnya untukku.<br /><br />Di suatu malam saat kami terbaring di kamar pembaringan kami, kuberanikan diri meminta Alexa, "Gimana kalau kita angkat seorang anak yang kita ambil dari panti asuhan ?" Alexa seperti kebingungan, tampak sekali jika raut wajahnya tak menyetujui aku. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala tanpa ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Kami saling membisu diantara pecahnya malam yang senyap. Kembali aku dalam hati yang penuh dengan ketidak pastian.<br /><br />Keesokan harinya aku semakin galau. Amarahku semakin membuncah, namun tak pernah mampu kulepaskan. Dada ini terasa sesak sekali. Lagi-lagi Alexa bersikap manis padaku. Akhirnya semua kuakhiri. Aku pergi meninggalkan Alexa seorang diri. Karena Alexa kuanggap tidak mau menuruti kemauanku. Mungkin aku terlalu egois, tak mau bersabar bersama Alexa. Alexa begitu sayang padaku, perhatiannya, kesetiaannya sangat jauh dibanding diriku. Teganya aku jika meninggalkannya seorang diri. Namun Egoku nyatanya lebih tinggi. Aku lebih condong mengikuti kemauan burukku. Mungkin dengan aku pergi, kita akan mampu sama-sama saling introspeksi diri. </span>Siti Arofahhttp://www.blogger.com/profile/09664214601828767346noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-6578368385395826261.post-88534241510560567742010-03-24T08:13:00.001-07:002010-03-24T08:18:03.464-07:00Foto Karawang Banjir<a href="http://kumpulancerpenkita.blogspot.com">Kumpulan Cerpen Kita</a>.<br />Berikut adalah photo Karawang Banjir, Ruko Blok I Perumnas Bumi Teluk Jambe<br /><span class="fullpost"><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiyeEZf68He5wgsqsej5EfoF-NAacaLbUTUdlPVA41fSJnBDlOKLyygeZhFew1-1ZY0YmT6Luc9700K9p1nUnnKsOJjBeg322628m08oBm2vGrpVKJ3UfuSANYg_b7UBe6FigWH98lOGoL_/s1600/Ruko+Warnet+03.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 300px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiyeEZf68He5wgsqsej5EfoF-NAacaLbUTUdlPVA41fSJnBDlOKLyygeZhFew1-1ZY0YmT6Luc9700K9p1nUnnKsOJjBeg322628m08oBm2vGrpVKJ3UfuSANYg_b7UBe6FigWH98lOGoL_/s400/Ruko+Warnet+03.JPG" border="0" alt="Karawang Banjir"id="BLOGGER_PHOTO_ID_5452219436356859762" /></a><br /></span>Siti Arofahhttp://www.blogger.com/profile/09664214601828767346noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6578368385395826261.post-73444322168725775402010-03-24T08:10:00.000-07:002010-03-24T08:13:13.268-07:00Foto Karawang Banjir<a href="http://kumpulancerpenkita.blogspot.com">Kumpulan Cerpen Kita</a>.<br />Berikut adalah photo Karawang Banjir, Perumahan Pemda.<br /><span class="fullpost"><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgU7fKqtorwrFQ2BFDfu8N1G-VxKcpPnQKr-UdwJToSDCOlCWYdLuBaWfDxMlu29CxRpBTUjLOnZFw_0FC5EtNYnfKNHeI5i7ilh_39HMixiB75ED3GQaeu8pgf39zSEPGEmyai56tU1zKf/s1600/Perumahan+Pemda.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 300px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgU7fKqtorwrFQ2BFDfu8N1G-VxKcpPnQKr-UdwJToSDCOlCWYdLuBaWfDxMlu29CxRpBTUjLOnZFw_0FC5EtNYnfKNHeI5i7ilh_39HMixiB75ED3GQaeu8pgf39zSEPGEmyai56tU1zKf/s400/Perumahan+Pemda.JPG" border="0" alt="Karawang Banjir"id="BLOGGER_PHOTO_ID_5452218268802844850" /></a><br /></span>Siti Arofahhttp://www.blogger.com/profile/09664214601828767346noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6578368385395826261.post-54555662974734544352010-03-24T08:08:00.001-07:002010-03-24T08:18:24.162-07:00Foto Karawang Banjir<a href="http://kumpulancerpenkita.blogspot.com/">Kumpulan Cerpen Siti Arofah</a>.<br />Berikut adalah Photo Karawang Banjir, Lapangan Bola Di sebelah Perumahan Pemda<br /><span class="fullpost"><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_SCvhWEV9skuyVai0eqD89C5xH_SYQn544AqgwSFDedU7nCWEvy7rcPVF9etnClYohAty0lsJxICG0gIBmKhP5S_z24Cjjq1CuqCRlN9zBLHfqbYvjw0PwNn3iAeHnLPWn83y36yipA-V/s1600/Lapangan+BloLa+Perum+Pemda.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 300px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_SCvhWEV9skuyVai0eqD89C5xH_SYQn544AqgwSFDedU7nCWEvy7rcPVF9etnClYohAty0lsJxICG0gIBmKhP5S_z24Cjjq1CuqCRlN9zBLHfqbYvjw0PwNn3iAeHnLPWn83y36yipA-V/s400/Lapangan+BloLa+Perum+Pemda.JPG" border="0" alt="Karawang Banjir"id="BLOGGER_PHOTO_ID_5452217841483118178" /></a><br /></span>Siti Arofahhttp://www.blogger.com/profile/09664214601828767346noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6578368385395826261.post-45785182179216913732010-03-24T08:06:00.001-07:002010-03-24T08:08:31.537-07:00Foto Karawang Banjir<a href="http://kumpulancerpenkita.blogspot.com/">Kumpulan Cerpen Siti Arofah</a>.<br />Berikut adalah Photo Karawang Banjir, Jembatan Alun-Alun<br /><span class="fullpost"><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgB3BvvMf7f0GyJutkZHYlX_NJadWWveU0LEG39zKI-zKmiz8bOoZDof6ZQlw1dWagYyeFnWs62GiIFWQOoNfXBUuFNEI-0dxyU3OevEF3IUFGnU7fq_zBPq2luItcagQxkV_GDbBIwCYCc/s1600/Jembatan+Alun+Alun.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 300px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgB3BvvMf7f0GyJutkZHYlX_NJadWWveU0LEG39zKI-zKmiz8bOoZDof6ZQlw1dWagYyeFnWs62GiIFWQOoNfXBUuFNEI-0dxyU3OevEF3IUFGnU7fq_zBPq2luItcagQxkV_GDbBIwCYCc/s400/Jembatan+Alun+Alun.JPG" border="0" alt="Karawang Banjir"id="BLOGGER_PHOTO_ID_5452217271939611650" /></a><br /></span>Siti Arofahhttp://www.blogger.com/profile/09664214601828767346noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6578368385395826261.post-9676396539327588052010-03-24T08:04:00.000-07:002010-03-24T08:06:34.365-07:00Foto Karawang Banjir<a href="http://kumpulancerpenkita.blogspot.com/">Kumpulan Cerpen Siti Arofah</a>.<br />Berikut adalah Photo Karawang Banjir, Depan Galuh Mas dan Peruri<br /><span class="fullpost"><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuaCmzlwQ700HN0G9m2ONM20bAjIvDuzFyUkK_9KCDPprNw0FciwuT5lUAPmAUqGc5kJhGDLFT1f2IjHx53kNI7qNJnkMfRsepaL-KbniS-9UKKkdp5lytqB5VTMJ1qfneEXydSribhkif/s1600/Depan+Galuh+Mas+City+Walk.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 300px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuaCmzlwQ700HN0G9m2ONM20bAjIvDuzFyUkK_9KCDPprNw0FciwuT5lUAPmAUqGc5kJhGDLFT1f2IjHx53kNI7qNJnkMfRsepaL-KbniS-9UKKkdp5lytqB5VTMJ1qfneEXydSribhkif/s400/Depan+Galuh+Mas+City+Walk.JPG" border="0" alt="Banjir Karawang"id="BLOGGER_PHOTO_ID_5452216806782822562" /></a><br /></span>Siti Arofahhttp://www.blogger.com/profile/09664214601828767346noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6578368385395826261.post-41237939380537433052010-03-24T08:02:00.000-07:002010-03-24T08:04:51.778-07:00Foto Karawang Banjir<a href="http://kumpulancerpenkita.blogspot.com/">Kumpulan Cerpen Siti Arofah</a>.<br />Berikut adalah Photo Karawang Banjir, Depan Galuh Mas dan RSU<br /><span class="fullpost"><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBmZXRN3PWI0tDFk9GmY20s5Tgxm6ofoZKOcghyphenhyphenVOvCFqDn1cK_H6HqfY88uBcHYkhptVszIQ12G4-gN0tr6ufatKXaBswWZgkerW0RQwbqslN0BirnytZz9Jn7J0OXIFs0vSTrrM_rV6J/s1600/Antara+Galuh+mas+dan+ruko+03.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 300px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBmZXRN3PWI0tDFk9GmY20s5Tgxm6ofoZKOcghyphenhyphenVOvCFqDn1cK_H6HqfY88uBcHYkhptVszIQ12G4-gN0tr6ufatKXaBswWZgkerW0RQwbqslN0BirnytZz9Jn7J0OXIFs0vSTrrM_rV6J/s400/Antara+Galuh+mas+dan+ruko+03.JPG" border="0" alt="Karawang Banjir"id="BLOGGER_PHOTO_ID_5452216354659974370" /></a><br /></span>Siti Arofahhttp://www.blogger.com/profile/09664214601828767346noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6578368385395826261.post-45504061159564832522010-03-24T08:00:00.001-07:002010-03-24T08:02:44.803-07:00Foto Karawang Banjir<a href="http://kumpulancerpenkita.blogspot.com/">Kumpulan Cerpen Siti Arofah</a>.<br />Berikut adalah Photo Karawang Banjir, Perumnas Bumi Teluk Jambe Blok Y<br /><span class="fullpost"><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjr1J15LPzmmF4FtgV3uYBrOwzwcBCjOmMkzHznp1dgbQ_2YqmQmbXQ1lMjSNN6qNz6ILRfk7btmFGJq3dG4ucfgfW0WzwjRgRiATsh84RHJ8IUJ9G6YbIjdXsoyG3qSUrMWnoQeBa_TrJZ/s1600/Blok+Y+03.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 300px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjr1J15LPzmmF4FtgV3uYBrOwzwcBCjOmMkzHznp1dgbQ_2YqmQmbXQ1lMjSNN6qNz6ILRfk7btmFGJq3dG4ucfgfW0WzwjRgRiATsh84RHJ8IUJ9G6YbIjdXsoyG3qSUrMWnoQeBa_TrJZ/s400/Blok+Y+03.JPG" border="0" alt="Karawang Banjir"id="BLOGGER_PHOTO_ID_5452215648047105458" /></a><br /></span>Siti Arofahhttp://www.blogger.com/profile/09664214601828767346noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6578368385395826261.post-62881189941561690282010-03-24T07:57:00.001-07:002010-03-24T07:59:52.056-07:00Foto Karawang Banjir<a href="http://kumpulancerpenkita.blogspot.com/">Kumpulan Cerpen Siti Arofah</a>.<br />Berikut adalah photo Karawang Banjir, Perumnas Bumi Teluk Jambe Blok R<br /><span class="fullpost"><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgfksUyMgqMleNeofYZUv0pjgymY_z7S9pYn0qHcR2AIdvWdxsaEnWXGYt9p3cj0u_OVOGCXVo0gj09PeCpVRWZzSb-77203KFihTYC5uZz-R3lXP2esXFAz7qXKMl3OBfTiGG8_maYNQcS/s1600/Blok+R.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 300px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgfksUyMgqMleNeofYZUv0pjgymY_z7S9pYn0qHcR2AIdvWdxsaEnWXGYt9p3cj0u_OVOGCXVo0gj09PeCpVRWZzSb-77203KFihTYC5uZz-R3lXP2esXFAz7qXKMl3OBfTiGG8_maYNQcS/s400/Blok+R.JPG" border="0" alt="Karawang Banjir"id="BLOGGER_PHOTO_ID_5452215012146991282" /></a><br /></span>Siti Arofahhttp://www.blogger.com/profile/09664214601828767346noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6578368385395826261.post-18558212929523412082010-03-24T07:54:00.000-07:002010-03-24T07:56:57.363-07:00Karawang Banjir, Kerta Bumi<a href="http://kumpulancerpenkita.blogspot.com/">Kumpulan Cerpen Siti Arofah</a>.<br />Berikut adalah Photo Banjir Kerta Bumi, Karawang.<br /><span class="fullpost"><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiX4GulUhbecL4vp6_JWMIY7Pk-IYahmeskF2ZPIP3C2ZT_RUnlF5mHFXEsnUboBDFTxgwVDuPTecKpn9PSAj3xMLz6hm3AVqnV4cshG7wZFSQL_X85c0htqQ-WRFyc1MDWWxeoDskVnSS8/s1600/Kerta+Bumi.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 300px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiX4GulUhbecL4vp6_JWMIY7Pk-IYahmeskF2ZPIP3C2ZT_RUnlF5mHFXEsnUboBDFTxgwVDuPTecKpn9PSAj3xMLz6hm3AVqnV4cshG7wZFSQL_X85c0htqQ-WRFyc1MDWWxeoDskVnSS8/s400/Kerta+Bumi.JPG" border="0" alt="Karawang Banjir"id="BLOGGER_PHOTO_ID_5452214113922703650" /></a><br /></span>Siti Arofahhttp://www.blogger.com/profile/09664214601828767346noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6578368385395826261.post-90436795702894447662010-03-24T07:48:00.001-07:002010-03-24T07:52:14.761-07:00Karawang Banjir<a href="http://kumpulancerpenkita.blogspot.com/">Kumpulan Cerpen Siti Arofah</a>.<br /><br />Berikut, adalah Gambar Salah satu Posko Bencana Banjir Perumahan Bumi Teluk Jambe.<br /><span class="fullpost"><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgHiR_dgXpoA2b36F2uZkygDDH8rBxSoGD_fEC_Raur08aXKeaUejVwdGpgGvyufGxaMyiFE0JAVkIyA8d71CqsBds2q9_y_ShyotyoFr28QrySdzsuYa6DT7rtOWVHOKdSSrjVRuP9j-dn/s1600/Posko+Banjir+Bumi+Teluk+Jambe.JPG"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 400px; height: 300px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgHiR_dgXpoA2b36F2uZkygDDH8rBxSoGD_fEC_Raur08aXKeaUejVwdGpgGvyufGxaMyiFE0JAVkIyA8d71CqsBds2q9_y_ShyotyoFr28QrySdzsuYa6DT7rtOWVHOKdSSrjVRuP9j-dn/s400/Posko+Banjir+Bumi+Teluk+Jambe.JPG" alt="Karawang Banjir" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5452212849464230018" border="0" /></a><br /></span>Siti Arofahhttp://www.blogger.com/profile/09664214601828767346noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6578368385395826261.post-25962188995752460712010-03-23T05:59:00.000-07:002010-03-23T06:14:53.991-07:00Karawang Banjir<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjp5v6odqZvv8OugrLb44LNL9VVUsEnas_tCqZOfKZgzveg0BouCdZtifKMVVMr0PqrnAMrI_iBTjYzwdTVmVII__ibZk0QQwV0NWLZvar-1zE3lbVp2mBUKhE6zvAD4qzB3T1qauhj6wzI/s1600-h/karawang+banjir.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 190px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjp5v6odqZvv8OugrLb44LNL9VVUsEnas_tCqZOfKZgzveg0BouCdZtifKMVVMr0PqrnAMrI_iBTjYzwdTVmVII__ibZk0QQwV0NWLZvar-1zE3lbVp2mBUKhE6zvAD4qzB3T1qauhj6wzI/s200/karawang+banjir.jpg" border="0" alt="Karawang Banjir"id="BLOGGER_PHOTO_ID_5451817017387610578" /></a><br /><a href="http://kumpulancerpenkita.blogspot.com">Kumpulan Cerpen Siti Arofah</a>. "Banjiiiiiiiiiir." teriak orang di sana sini. Orang-orang hilir mudik kesana kemari tak menentu mencari tempat yang lebih aman. Ada yang membawa televisi, ada juga yang membawa kasur atau spring bed, ada juga yang membawa buntalan pakaian. Sungai citarum meluap, menumpahkan segala isinya merata ke segala penjuru manapun sesukanya tanpa peduli dimana ia akan mengalir. Baru kali ini, Karawang merata terkena banjir. Sebuah pemandangan yang sangat begitu mengerikan sekaligus mencengangkan. Karawang sudah seperti lautan yang tepinya sulit terjangkau oleh sejauh mata memandang.<span class="fullpost"><br />Bulu roma bergidik begitu melihat hamparan rumah penduduk berubah dalam sekejap hanya dalam hitungan menit menjadi lautan. Berharap-harap cemas dimana rumah tinggal yang kami huni tak ikut terkena amarah dari luapan sungai Citarum. Mobil-mobil berjajar rapi diparkir di sisi jalan yang berjarak kira-kira sepuluh meter dari banjir. Di sisi lain bengkel motor tengah meraup laba yang sangat menggembirakan karena banyak motor yang mogok yang dipaksa untuk jalan di tempat banjir.<br /><br />Sebelumnya aku sempat bertanya-tanya, mengapa sungai yang mengalir dari waduk jatiluhur menuju kalimalang surut. Sungai yang awalnya cukup tinggi namun tak sampai meluap itu, kini surut hingga anak-anak kecil berani bermain di dalamnya. Bapak-bapak sibuk melepaskan jalanya di sungai itu. Sungai itu kini hanya setinggi 30 cm dari permukaannya. Sungguh suatu pemandangan yang tidak seperti biasanya. Orang-orang yang tinggal beberapa meter disekitar bantaran sungai ini banyak yang mengeluh, karena mereka hidup dari irigasi yang mengalir dari sungai ini. Namun karena sungai ini menyusut, praktis mereka dilanda krisis air.<br /><br />Di sisi lain, sebuah perumahan yang lebih dahulu terkena imbas dari penyusutan sungai ini adalah Perumahan Bintang Alam. Perumahan itu kini sudah menjadi lautan, tak ada satupun atap rumah yang tampak tersembul, semuanya rata tergulung air coklat bercampur tanah lumpur. Setelah Perumahan Bintang Alam, barulah Perumahan Karaba ikut menjadi korban dari keganasan luapan sungai Citarum ini. Yang menjadi di luar pemikiran kita selama ini, perumahan Galuh Mas juga ikut menjadi korban. Tak disangka-sangka Perumahan yang terkenal Elit dan mahal itu menjadi korban juga. Sedangkan perumahan Bumi Teluk Jambe yang letaknya bersebelahan dengan perumahan Galuh Mas hanya terkena setengahnya saja. Rata-rata hampir semua perumahan di karawang terkena banjir semua.<br /><br />Belakangan baru kuketahui Jika ternyata Jakarta enggan menadah air dari aliran jatiluhur, cukup dari tumpahan air bogor saja. Karena jika Jakarta dialiri oleh air dari jatiluhur dan air dari bogor, maka banjirpun tak terhankan lagi terjadi seperti tahun-tahun sebelumnya dahulu. Entahlah, isu ini benar atau tidak, nyatanya kulihat sendiri sungai yang menuju kalimalang surut, sedang sungai Citarum yang menghulu ke laut Karawang utara meluap hingga akhirnya seluruh Karawang mengalami banjir.<br /><br />Anehnya selama banjir ini, kapasitas hujan yang terjadi tidak begitu besar dan jarang terjadi. Jadi banjir ini dikarenakan limpahan air sungai Citarum yang begitu besar. Karena Bandung dan purwakarta katanya hujan yang lebat secara terus menerus tiada diberi jeda waktu.<br /><br />Tak sadar air mata ini meleleh, satu demi satu jatuh membasahi pipi. Karawang kini seperti sudah tak jelas lagi rimbanya. Semuanya hanya mengharap menyelamatkan nyawa. Sedang materi ? kami hanya bisa pasrah, semuanya sudah takdir dari yang Maha Kuasa. Entahlah, banjir ini akan menelan waktu sampai kapan ? Yang jelas air Citarum setiap jam selalu naik, tak ada tanda-tanda menyusut sedikitpun.<br /></span>Siti Arofahhttp://www.blogger.com/profile/09664214601828767346noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6578368385395826261.post-4743145198483698082010-03-20T07:58:00.000-07:002010-03-20T08:03:54.111-07:00Bekasi Bersih Partisipasi Blogger , Bagaimana dengan Karawang ?<a href="http://kumpulancerpenkita.blogspot.com">Kumpulan Cerpen Siti Arofah</a>. Bekasi bersih tanpa banjir, bagaimana dengan karawang. Lewat <a href="http://kumpulancerpenkita.blogspot.com/2010/03/bekasi-bersih-partisipasi-blogger.html">partisipasi blogger</a>, semoga Karawang tidak banjir lagi.<br /><span class="fullpost"><br />"Banjiiiiir !" Teriak orang-orang di sana-sini. Masjidpun ikut menyuarakan siaga banjir. Alhamdulillah kami hampir saja terkena banjir.<br /><br />Lain dengan tetangga kami yang beda blok meski masih satu perumahan dengan kami. Banjir rupanya tidak dapat memihak, ia memuntahkan kemana ia suka. Menggelepar begitu saja tanpa peduli sedang apa penghuninya.<br /><br />Setelah banjir usai, air mata merebak di sana sini. Segala perabot rumah tangga tersiram lumpur dengan aroma yang begitu tajam. Kasur tak dapat ditiduri, karena tergenang air sekian lama. Lantai menjadi kotor yang sangat sulit untuk dibersihkan.<br /><br />Anak-anak menangis dan rewel, karena tak bisa nyaman dengan sisa lumpur yang menyeruak dimana-mana. Semua serba sibuk, tak ada kegiatan selain membersihkan sisa-sisa kotoran bekas lumpur yang menempel.<br /><br />Sebisanya aku membantu mereka, mengangkat barang-barang untuk segera dibersihkan atau mencuci perabot rumah lainnya. Aku mencoba mengurangi beban yang mereka sedang hadapi.</span>Siti Arofahhttp://www.blogger.com/profile/09664214601828767346noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-6578368385395826261.post-90926883591915207012010-03-15T22:25:00.000-07:002010-03-15T22:25:00.262-07:00Powerfull Smoothies<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgg7reWgd5GjiY-UqS5zMX6cFuCOt0Gdt2nmKGkDvOjnw1YHDJbc67lE-NRaVqx9ya_-1Wwh1SfZkOUrf0P9lK7KO4plghj4EsSVOuPgKnfTtxTARWen_tGNrS1u5_39RvBrIgunIlrzk4n/s1600-h/juice+strawberry.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 157px; height: 179px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgg7reWgd5GjiY-UqS5zMX6cFuCOt0Gdt2nmKGkDvOjnw1YHDJbc67lE-NRaVqx9ya_-1Wwh1SfZkOUrf0P9lK7KO4plghj4EsSVOuPgKnfTtxTARWen_tGNrS1u5_39RvBrIgunIlrzk4n/s200/juice+strawberry.jpg" alt="Powerfull Smoothies" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5448001990477433650" border="0" /></a><br /><a href="http://kumpulancerpenkita.blogspot.com/">Kumpulan Cerpen Siti Arofah</a>. Tak punya banyak waktu buat menyiapkan sarapan, bikin saja smoothies yang satu ini. Pisang, strawberry plus oatmeal bakal memberi pasokan kalori hingga siang!<br /><span class="fullpost"><br /><span style="font-weight: bold;">Bahan<span style="font-style: italic;"></span></span>:<br />2 buah pisang Ambon, kupas, potong-potong<br />150 g strawberry segar, bersihkan<br />250 ml susu kedelai/susu low fat<br />4 sdm madu<br />2 sdm oatmeal<br /><span style="font-weight: bold;"><br />Cara membuat<span style="font-style: italic;"></span></span>:<br />Masukkan semua bahan dalam mangkuk blender.<br />Proses hingga lembut.<br />Tuang ke dalam 2 gelas saji.<br />Sajikan segera.<br />Untuk 2 gelas<br /><br /></span>Siti Arofahhttp://www.blogger.com/profile/09664214601828767346noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6578368385395826261.post-32054085584826199372010-03-13T21:20:00.000-08:002010-03-18T05:38:37.304-07:00Bekasi Bersih Partisipasi Blogger<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjtPqjOY2xlkcBMmh-byL4Lyx2DzTgMtBiwU4Cvh-uDOcJyAGl4U9BcTRFicxOwG49pb3ZHpEISN25jbD6U5AS5D8JAhIkTZR9FPpGQz_IuT9lIHZDQ58K80uQLS1vzbVYH9a-gcwNdbDqQ/s200/bekasi+bersih+partisipasi+blogger.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 143px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjtPqjOY2xlkcBMmh-byL4Lyx2DzTgMtBiwU4Cvh-uDOcJyAGl4U9BcTRFicxOwG49pb3ZHpEISN25jbD6U5AS5D8JAhIkTZR9FPpGQz_IuT9lIHZDQ58K80uQLS1vzbVYH9a-gcwNdbDqQ/s200/bekasi+bersih+partisipasi+blogger.jpg" border="0" alt="Bekasi Bersih Partisipasi Blogger"id="BLOGGER_PHOTO_ID_5448848949807508290" /></a><a href="http://kumpulancerpenkita.blogspot.com">Kumpulan Cerpen Siti Arofah</a>. Pencanangan <a href="http://kumpulancerpenkita.blogspot.com/2010/03/bekasi-bersih-partisipasi-blogger.html">Bekasi Bersih Partisipasi Blogger</a> lahir dalam sebuah acara <a href="http://amprokanblogger.com">Amprokan blogger</a> yang diadakan oleh Blogger Bekasi. Bekasi Bersih Bekasi Sehat , sebuah selogan yang ingin diraih oleh kota penyangga Jakarta di bagian timur ini. Oleh karenanya saya sebagai <a href="http://bloggerkarawang.net">blogger</a> ingin berpartisipasi untuk sama-sama mewujudkan impian kota Bekasi ini agar Bekasi bersih berkat pastisipasi blogger juga.<br /><span class="fullpost"><br />Sebagai makhluk hidup yang diberi akal, kita perlu menjaga kebersihan diri dan lingkungan agar sehat, tidak bau, tidak menyebarkan kotoran dan menularkan penyakit bagi diri sendiri maupun orang lain.<br /><br />Kebersihan lingkungan meliputi kebersihan tempat tinggal, tempat bekerja dan berbagai sarana umum. Membersihkan jendela dan perabot rumah tangga dari debu-debu yang menempel, menyapu dan mengepel lantai, mencuci peralatan masak dan peralatan makan, membersihkan kamar mandi serta membuang sampah ke tempatnya adalah contoh dari kebersihan tempat tinggal. Sedangkan contoh dari kebersihan lingkungan adalah menjaga kebersihan halaman dan selokan dan membersihkan jalan di depan rumah dari sampah.<br /><br />Mungkin dengan menambah penanaman pohon di ruas-ruas jalan akan menyegarkan suasana kota yang keras dan panas. Dengan penghijauan kota dirasakan sebagai paru-paru kota, menambah estetika dan penyerap debu dan partikel pencemar. Penghijauan juga dapat memberikan rasa nyaman dan mengurangi stress. Udara di sekitar tanaman menjadi terasa segar.<br /><br />Mungkin kita hendaknya saling mengingatkan betapa pentingnya manfaat dari kebersihan. Kita hendaknya sadar akan apa yang akan kita perolah jika kita selalu menjaga kebersihan. Sehat dan dijauhkan dari penyakit adalah manfaat utama dari menjaga kebersihan.<br /><br />Oleh karenanya, Bekasi sebagai salah satu kota yang ingin menjadi kota mandiri berupaya untuk menjadi kota <a href="http://kumpulancerpenkita.blogspot.com/2010/03/bekasi-bersih-partisipasi-blogger.html">bekasi bersih bekasi sehat</a>. Mari kita dukung sepenuhnya dari ajakan Bekasi ini, agar diikuti oleh kota-kota lainnya di Indonesia.<br /></span>Siti Arofahhttp://www.blogger.com/profile/09664214601828767346noreply@blogger.com9