Saturday, October 31, 2009

Pengemis

PengemisKumpulan Cerpen Siti Arofah. Pengemis, suatu nama yang menjadikan dirinya mungkin layak diberi sebuah rasa kasihan. Hidup dengan berharap dari belas kasih manusia. Kian hari mereka kini begitu banyak jumlahnya. Kita bisa menemuinya di bus-bus kota, di trotoar jalan, di perempatan jalan menanti mobil yang sedang menunggu lampu merahhberganti hijau atau sesekali melewati rumah demi rumah menunggu belas kasih seseorang.

Mereka kadang-kadang penipu. Mengaku sebagai kaum papa, tapi nyatanya rumah di kampung halamannya sungguh besar luar biasa. Mereka hidup merantau ke kota dan menjadi pengemis sebagai profesinya. Kadang kala, mereka berpura-pura cacat. Entah itu tangannya yang ditekuk ke dalam baju hingga bajunya terlihat kosong tanpa tangan. Atau juga dia berjalan dengan bertumpu pada tangan sambil menyeret kakinya mengharap iba dari para penumpang bus. Namun adapula yang berpura-pura sebagai orang yang telah bertaubat dalam lumpur dosa, dia menceritakan panjang lebar tentang kisahnya di dalam bus kota seakan tak punya uang untuk bekal kembali ke desanya.

Belakangan kudengar jika kita memberi uang pada kaum seperti mereka akan dikenakan sanksi. Sungguh suatu dilema. Akankah kita akan menjadi manusia yang sulit berbagi ? Tegakah kita melihat seseorang yang papa, yang seharusnya membutuhkan uluran tangan kita ?

Entahlah, aku sama sekali tak menghiraukan aneka kelakuan dari si pengemis. Biar bagaimanapun bagiku hanya Tuhanlah yang berhak menghakiminya. Suatu saat kutemui pengemis dengan jalan tertatih-tatih. Ia ragu-ragu ingin mengulurkan tangannya padaku. Setelah aku lewati dirinya, aku melihatnya dari arah belakang. Dugaanku ternyata salah, ia benar-benar berjalan dengan bersusah payah. Seorang lelaki tua dengan baju hitam pudar yang sudah kumal. Mungkin sehari ini belum cukup makanan yang masuk ke kerongkongannya, kupikir. Buru-buru aku mengambil selembaran uang yang ada dalam tasku dan menyuruh anakku untuk segera memberikan uang ini padanya. Anakku berlari padanya. Pengemis itu memandangi diriku dari kejauhan , berkali-kali dia menundukkan pandangannya seperti tanda berterima kasih. Meski sedikit yang kuberi, tiba-tiba saja perasaan bahagia muncul begitu saja meletup-letup dalam relung hatiku.

Pernah suatu ketika kulihat seorang lelaki, dengan tubuh yang tak tampak renta menelungkupkan tangannya ketika aku menghampirinya. "Maaf, Pak" begitulah yang terlontar dari dalam mulutku. Meski dalam hati ingin rasanya memarahinya, membentaknya mengapa dengan tubuhnya yang masih terlihat gagah beraninya ia sampai hati menjadi pengemis. Padahal Bisa saja orang itu menjadi kuli pengangkat beras di pasar. Bukankah tangan di atas adalah lebih baik ketimbang tangan di bawah ? Meski hatiku meronta-ronta dibuat kesal oleh pengemis yang gagah itu, aku tetap tak bernyali untuk memakinya. Aku teringat pesan orang tuaku kalau pengemis itu tak boleh dihardik.

Hari demi hari kutatap matahari begitu panas menyengat. Mungkin begitu pula dengan orang - orang lainnya. Mungkin banyak orang mengeluh karenanya. Terutama jika mereka tengah berada di luar sana di dalam bus kota yang penuh sesak berpacu melawan kemacetan. Mau tak mau batin berperang ingin menyudahi situasi ini. Meski aku tak hidup di kota yang katanya hidup penuh gemerlap dan serba ada, harusnya kusyukuri ni'mat Illahi yang tiada taranya ini.

Friday, October 30, 2009

Ketika Gempa Terjadi

Ketika Gempa TerjadiKumpulan Cerpen Siti Arofah. Belakangan ini Indonesia didera bencana gempa bumi yang bertubi-tubi. Sudah pasti banyak air mata karena peristiwa itu. Ada bayi-bayi yang tiba-tiba menjadi yatim piatu, belum lagi mereka kehilangan tempat tinggal dan penyakit meraja rela di sana sini. Trauma pasca gempa menghantui jiwa-jiwa mereka. Lapangan pekerjaan sirna dalam sekejab. Anak-anak menangis karena menahan lapar atau kedinginan karena tak ada selimut atau karena ditinggalkan orang tua mereka untuk seumur hidupnya. Sedang orang tua yang masih hidup kebingungan, ia tak bisa memberi apa-apa lagi untuk anak-anaknya.

Seorang temanku kebetulan orang tuanya tinggal di kota Pengalengan, Bandung. Saat gempa Tasikmalaya terjadi, rumah orang tuanya luluh lantah rata bersama tanah. Suasana duka menyelimuti hati mereka. Malam yang gelap gulita karena jaringan listrik yang ikut mati membuat suasana menjadi semakin mencekam. Belum lagi, masih ada kasus yang sungguh mengenaskan saat itu. Ada segerombolan manusia mengais sisa-sisa reruntuhan rumah bekas gempa yang telah rata. Betapa tak punya perasaan sedikitpun manusia yang tega berbuat seperti itu. Di tengah bencana teganya dia mencuri barang dari orang yang terkena bencana. Belum lagi bantuan dari pemerintah terlambat untuk dikucurkan. Suatu hari hanya tersedia satu indomie saja, padahal untuk satu keluarga. Bagaimana mereka membaginya ? Ah, aku tak tega untuk menceritakannya.

Teganya lagi ada oknum pejabat daerah yang tega menyelewengkan dana bantuan untuk korban gempa. Bagaimana bisa uang yang seharusnya diperuntukkan bagi orang yang terkena musibah dan mereka sangat sedang membutuhkannya diraupnya dengan begitu serakah. Apakah mereka tak takut akan azab Tuhan yang sangat keras siksanya ? Apakah masih belum cukup musibah yang baru saja ditimpakan untuknya ? Aku hanya bisa terdiam sejenak lalu mengurut dada, beristighfar berkali-kali, berharap orang-orang itu mendapat hidayah.

Baru saja pemerintah kita baru terpilih menjalankan tugasnya. Ketika menjabat beberapa hari, issue kenaikan gaji para menteri merebak untuk segera ditunaikan. Dan diumumkan bahwa satu persatu, mereka mendapat fasilitas mobil mewah dengan harga yang cukup fantastis, 1 milyar. Sebagai rakyat biasa, Jika saja aku yang mendapatkannya, meski setiap orang pasti akan senang jika mendapat sesuatu yang gratis apalagi dengan harga yang sangat tinggi. Tapi jika aku yang mendapatkannya, Sungguh akan kukembalikan lagi mobil itu. Buat apa aku mengendarai mobil lux, tapi aku hidup ditengah rakyat yang miskin yang seharusnya kita santuni. Aku lebih memilih mengendarai mobil biasa, dari pada menaiki mobil dari tangis air mata penderitaan rakyat jelata.

Kini, di tengah maraknya gempa yang melanda, masyarakat seolah-olah dihantui oleh ketakutan jika gempa itu benar-benar kembali menimpa lagi. Bagaimana jika gempa itu terjadi disaat kita sedang terlelap tidur dan dibuai mimpi ? Bagaimana jika tiba-tiba tidur kita menjadi tidur yang panjang menunggu hari penghitungan amal dari segala perbuatan kita ? Bagaimana jika kita tiba-tiba telah dikafani untuk dikuburkan bersama-sama dengan korban gempa lainnya ? Mari kita memperbaiki dan mulai menabung ibadah masing-masing untuk bekal kita di hari yang kekal. Yang terbaik adalah bersegeralah, mumpung kita masih diberi waktu.

Tuesday, October 20, 2009

Ketika Terbalut Duka

Ketika Terbalut DukaKumpulan cerpen Siti Arofah. Tiba-tiba saja naluriku sebagi seorang lelaki hadir dalam adrenalinku meskipun statusku kini telah memiliki seorang istri dan dikaruniai dua orang bocah laki-laki. Aku juga tak mengerti mengapa semuanya bisa terjadi begitu saja. Antara rasa cinta dan iba sama sekali tak kukenali keduanya. Semenjak ia sering curhat padaku mengenai keadaan rumah tangganya padaku, rasa itu hadir menggelayuti sudut-sudut ruang hatiku.

Dialah Yanti, rekan sekerjaku, yang sehari-harinya kerap berbicara, entah itu seputar masalah kerja atau sekedar obrolan basa basi mencairkan suasana kerja yang penuh menguras tenaga dan otak. Ia begitu energik dan selalu ceria. Tak pernah sedikittpun terpancar kegundahan hatinya. Karena aku merasa cocok dengan gaya bicaranya yang sopan, dan kadang-kadang sedikit manja, akhirnya setiap makan siang kami keluar makan bersama, terkadang bersama rekan kerja lainnya. Hingga akhirnya kami seperti sepasang sahabat yang dibatasi oleh tali pernikahan masing-masing.

Mungkin karena kedekatan ini, antara aku dan dia sering menanyakan kabar masing-masing. Terkadang aku memberitau dia kalau anakku sedang panas dan tak mau makan. Dia dengan serta merta penuh semangat menyuruhku untuk membeli vitamin nafsu makan dan menyegerakan membawanya ke tukang urut. Meski tampak seperti seorang wanita yang bawel, aku menikmati ocehannya itu. Jika ia tak masuk kerja rasanya ada yang kurang dan mengganjal hati. Meski hanya satu hari aku merasa kehilangan sososknya. Kata-katanya begitu lembut dan sangat hati-hati sekali, oleh karenanya dia begitu memberi kesan tersendiri bagiku.

Suatu saat kupergoki dirinya seorang diri termenung di depan monitor kerjanya, mata berkaca-kaca. Buru-buru ia mengusap matanya dengan tissue yang ia peroleh dari dalam sakunya. Aku tau kalau air mata itu adalah air mata sungguhan. Hari ini Yanti tampak tak seperti biasanya. Untungnya di ruangan ini sepi, semua karyawan sedang makan siang di kantin. Aku jadi lebih leluasa mengintrogasinya.
"Yanti, ada apa ? katakan yang sesungguhnya padaku !" Kali ini aku benar-benar memaksanya untuk menjawab.
"Ga' ada apa-apa koq, aku baik-baik aja." Dia berusaha berkelit menutupi kesedihannya.
"Buat apa ada aku ? Aku ini kan sahabatmu, ayo ceritakan, please deh..... !" Aku mengulangi permintaanku lagi.
Sesekali Yanti tampak ragu menatapku, seolah ia tak mau berbagi masalahnya padaku.
Tapi beberapa saat kemudian, dia mulai mengawali kalimatnya.
"Aku udah ga' tahan, Pras. rasanya aku ingin pergi menjauh dari rumah !"
'Lho, ada apa Yanti ?" kata-kata yanti membuatku bingung.
"Kami memang serumah, tapi hati kami tertambat di suatu tempat yang berbeda. Di rumah, kami seakan menjadi orang yang tidak saling mengenal. Suamiku benar-benar pasif, Pras. Bicaranya sangat sedikit sekali. kamu kan tau aku ini orangnya suka celoteh. Ya...kalau aku terus - terusan yang bicara, pincang sebelah dong ? Aku merasa tak ada teman berbagi di rumah."
Perlahan aku mengernyitkan dahiku, kutatap mata Yanti dalam-dalam, aku sungguh tak bisa mempercayai kata-kata yang baru terucap di bibir Yanti. Seorang Yanti yang dulu penuh keceriaan, ternyata keceriaannya selama ini sungguh berbeda dari kenyataan.
"Sabar, Yanti. Semuanya belum berakhir. Kamu masih bisa merubahnya." Aku mencoba membantunya.
TIba-tiba satu demi satu para karyawan datang tanda jam istirahat telah usai. Akhirnya kamipun buyar ke tempat kerja masing-masing.

Semalaman aku tak bisa tidur. Pikiranku selalu berputar-putar memikirkan Yanti. Aku tak tega melihat yanti menderita. Berkali-kali aku menggeleng, kenapa suaminya tega terhadap Yanti. Orang sebaik Yanti rasanya tak pantas mendapat perlakuan seperti itu dari suaminya. Dari sinilah getar-getar cinta ku datang. Aku jadi merasa ingin meilikinya.

Keesokan harinya, di siang hari, aku mengajaknya makan ke kantin bersama. namun ajakanku sama sekali tak digubrisnya. Ia tak bergeming sedikitpun dari kursinya. Dengan sedikit gugup kukatakan jika aku mencintainya. Mendengar ucapanku itu, sesaat yanti tampak terdiam. Dia memandangi diriku yang penuh harap-harap cemas menanti jawaban apa yang akan datang dari bibir yanti setelah ucapanku ini.

Lama sekali ia menatapku. Aku jadi salah tingkah dibuatnya.
"Mas, cinta memang hak setiap orang. Mas bisa aja cinta saya. Kalau mas memang mencintai saya, tolong cintai istri mas sepenuh hati, jangan sakiti hatinya ! Tolong biarkan aku sendiri seperti ini !" Yanti langsung pergi meninggalkanku.

Yanti, yanti. Mengapa hatimu selembut salju, kamu begitu kuat mencintai suamimu. Semoga Suamimu akan kembali menyayangimu.

Saturday, October 17, 2009

Asa Dalam Rinai Air Mata

Asa Dalam Rinai Air MataKumpulan Cerpen Siti Arofah. Akhirnya aku kembali bekerja lagi. Betapa baik hatinya majikanku mau menerima aku kembali sebagai buruhnya lagi. Setelah sebelumnya aku kembali ke rumah orang tuaku karena sakit panas yang tak kunjung reda. saat itu, tubuhku telah tak berdaya. Untuk pulangpun, aku diantar temanku. Mungkin typus yang telah menderaku waktu itu, nyatanya di rumah orang tuaku, aku diberi ibuku minuman yang dibuat dari cacing yang telah dibakar dan ditumbuk, aku disuruh meminumnya beberapa hari layaknya minum kopi. Selang beberapa hari penyakitku pergi, aku telah segar kembali seperti sedia kala.

Aku adalah pengantar air galon keliling. Kulakoni pekerjaan ini meski hasil dari jerih payahku ini tak seberapa besar. Aku hanya mampu mecukupi kebutuhanku sendiri. Kerasnya kehidupan yang kian hari kian harus lebih berjuang guna bertahan hidup memompa adrenalinku untuk bisa memilih masa depan. Begitu sulitnya mencari lapangan pekerjaan saat ini. Pengangguran merambah dimana-mana, belum lagi PHK juga semakin meraja rela. Daripada menjadi pengangguran tak menentu, mau tak mau aku pilih pekerjaan ini, meski hanya sebagai pengantar air galon keliling.

Untungnya, majikan tempatku bekerja sangat baik. Ia memperhatikan kebutuhanku. Biaya kost dan makan sudah ditanggung oleh majikanku. Aku diberi imbalan uang rokok dan seribu rupiah tiap galon yang aku antar. Dengan pendapatanku yang seperti itu, aku jadi tak bisa mengirimi uang untuk orang tuaku. Tapi betapa besarnya hati orang tuaku, nyata mereka disana memahami keadaan diriku. Kadang, rinai air mata ku tak kuasa turun satu demi satu membasahi pipiku di kala aku sedang sendiri. Aku seperti anak yang tak tau diri telah tega tak mengingat keberadaan orang tuanya.

Sedang usiaku, kian hari semakin bertambah, sejenakpun tak mau berhenti meski hanya untuk sesaat sekalipun. Manusiawi, sebagai seorang laki-laki keinginan untuk menikah selalu menyambangi dalam kubah hatiku ini. Bukankah bayangan-bayangan indah bersama sang pujaan hati adalah impian setiap insan di jagad raya ini ? Tapi, bagaimana dengan aku yang seperti ini ? Kadang, aku begitu takut menunggu saat masa depanku tiba. Harapan-harapan indah seolah hanya sebagai bunga mimpi belaka penghias di siang bolong.

Di sebuah malam di bawah lampu temaram kutatap langit membiru gelap. Begitu sempurna keindahannya, bintang-bintangnya bertaburan, mereka seakan mengajakku tertawa riang untuk sejenak melupakan kesedihanku ini. Kadang aku tersenyum pada mereka berharap mereka senang jika aku bahagia. Merekalah temanku sepanjang malam-malam sepiku yang tanpa bertepi. Ingin sekali kupetik satu saja darinya. Ah, bodohnya aku terlalu lama berhayal ! Aku kembali dalam do'a di atas sebuah sajadah biru pemberian ibu saat aku ingin berangkat merantau berharap Sang Illahi mau mengubah nasibku kelak.

Friday, October 16, 2009

Jangan Kau Cepat Pergi, Mimpi

Jangan Kau Cepat Pergi MimpiKumpulan Cerpen Siti Arofah. Pagi ini aku terbangun dari sebuah mimpi. Mimpi yang paling terindah dari sekian mimpi-mimpiku yang pernah ada. Aku bertemu dengan istriku yang telah meninggalkanku beberapa tahun yang lalu. Ia pergi meninggalkan aku dan seorang buah hati kami sesaat setelah berhasil melahirkan Aisyah, putri tunggal kami yang cantik secantik Mamanya. Ya,... istriku pergi setelah berjuang untuk bisa melahirkan Aisyah, meski nampak sangat berat perjuangan itu akhirnya berakhir maut.

Dalam mimpi itu, aku benar-benar tak menyadari jika saat itu aku tengah di alam mimpi. Seakan antara semu dan nyata tak sedikitpun ada bedanya . Istriku benar-benar hadir menemaniku. Tubuhnya terbalut gaun serba putih. Ia nampak begitu cantik sekali. Tiada cacat satupun padanya, aku semakin terpesona padanya. Senyumnya masih sama seperti saat-saat terindah dulu ketika ia masih hidup. Saat itu, aku seakan hendak bertamu di sebuah istana yang sangat megah dan indah serba bercahaya. Dalam hati bertanya-tanya, siapakah penghuni istana nan indah dan megah ini ? Tiba-tiba saja aku terhenyak kaget luar biasa, ternyata yang membuka pintu itu adalah istriku. Sejenak aku terdiam, kupandangi dirinya dari ujung rambut hingga ujung kaki, saat tangannya yang lembut itu memegang gagang pintu yang terbuat dari emas, kukenali kalau tangan itu adalah tangan istriku. Dia menjawab salamku dengan penuh mesra, tanganku dikecupnya. Dia bagaikan seorang bidadari dari syurga untukku. Sayangnya, mimpi ini berakhir terlalu dini. Aku terbangun. Air mataku mengalir begitu saja, seakan tak rela jika mimpi ini masih ingin kulanjutkan.

Fitri, istriku adalah sosok istri idaman bagiku. Aku begitu mencintainya sejak kunikahi dirinya. Dia begitu lembut, penyayang dan penuh perhatian padaku. Dia benar-benar wanita yang pandai mendampingiku. Dia tau apa yang harus dia lakukan saat aku senang pun di saat-saat susah sekalipun. Kala duka menderu, dia penyemangatku., tak jemu-jemu dialah orang pertama yang membuat aku tak pernah putus asa. Kala senang, ia selalu mengingatkanku untuk selalu menyisihkan kebahagiaan ini kepada kaum dhuafa. Pernah ia meminta agar dikala mampu sebaiknya walau sedikit kita harus semampunya memberi. Dengan kita memberi mungkin akan bermanfaat, jangan menunggu saat kita tak punya apa-apa lantas kita menyesal akan ketidak mampuan itu.

Kini aku malah tengah asyik bersama Aisyah. Membesarkannya sendiri adalah kebahagiaan tersendiri bagiku. Kini Aisyah telah berumur lima belas tahun. Sebuah waktu yang memberiku sebuah arti kesabaran bagi seorang aku yang ditinggalkan oleh istri. Aku begitu bangga padanya, karena kini ia menjadi wanita sholehah yang selalu menuruti setiap kata-kataku. Setiap langkahnya ada do'aku di sana. Do'a dari seorang ayah kepada anak yang begitu disayanginya.

Aku juga masih belum ingin mencari pengganti Mama untuk Aisyah. Tak ada yang mampu menggantikan posisi fitri bagiku. Mungkin karena aku begitu teramat mencintainya, rasanya enggan mencari pengganti fitri. Beberapa laki-laki sepertiku mungkin akan lebih memilih menikah. Tetapi tidak bagi diriku. Aku tak ingin menodai kebaikan dan ketulusan cinta yang telah terukir dari tangan istriku. Fitri, semoga kau menjadi bidadariku di Syurga.

Sunday, October 11, 2009

Apakah Buih-buih Hatiku Sedingin Hujan ?

Apakah Buih-buih Hatiku Sedingin HujanKumpulan Cerpen Siti Arofah. "Emak,..... dingin sekali Emak. Adi kedinginan Mak" berulang kali anakku mengeluh akan dinginnya siang ini, karena hujan telah mengguyur kota sepanjang dua hari dua malam ini. Tapi aku sama sekali tak bergeming, seakan keluhannya bagai hujan yang tengah membasahi bumi, ia akan berhenti dengan sendirinya. Sejenak mungkin aku tampak sebagai seorang ibu yang jahat pada anaknya, yang tega membiarkan buah hatinya terkungkung dalam dinginnya hujan.

Bukan tak ada rasa sayang lagi untuk anakku, getirnya hidup yang telah kami hadapi membuat kami harus bertahan hidup semampu kami. Suamiku yang mengais rupiah sebagai penjaja minuman gelas dari sebuah bis kota ke bis kota lainnya, tak bisa mencukupi kebutuhan hidup kami yang tinggal di kota Jakarta dengan harga - harga kebutuhan pokok yang kian hari kian melambung. Situasi ini membuat kami harus hidup dengan seadanya. Pernah suatu ketika, aku sampai berpuasa , aku memilih mengalah kepada anakku, uang hasil jerih payah suamiku seharian dirampas preman tak dikenal. Bulir-bulir air mataku mengalir, namun seiring waktu tak ada kecengengan lagi. Inilah resiko hidup di ibukota dengan berbekal nekad.

Akhirnya kuputuskan untuk membantu suamiku. Di kala musim panas, aku membuat panganan Onde-Onde buatanku sendiri. Malam hari, di kala anakku tertidur lelap, aku menyiapkan mengolah Onde-Onde, agar paginya setelah sholat shubuh, Onde-Onde itu bisa langsung ku goreng dan tidak memerlukan waktu yang lama, sehingga para penjaja Onde itu bisa mengambil Onde-Onde buatanku lebih pagi. Cukup membuat lelah juga jika kuingat dalam semalam aku mampu membuat Onde sebanyak 3 baskom besar. Tapi semuanya kulakukan dengan hati yang ikhlas berharap meraih pahala. Mungkin karena inilah keringat yang menetes tak pernah menuai keluh setelah kukecup pipi anakku yang sedang tertidur pulas.

Sedangkan di musim hujan, aku tidak menjajakan Onde-Onde lagi. Aku memilih sebagai Peng-Ojeg payung, meminjamkan payung di jalan saat hujan. Kala di rumah, waktu istirahatku memang lebih menyisakan waktu lebih banyak. Namun, Adi, anakku lah yang harus membayar semuanya ini. Ia harus ikut denganku. Meski dingin , sesekali Adi yang dalam gendonganku tampak riang bermain-main dengan air yang terciprat ke tubuhnya. Namun tak jarang ia juga mengeluh dingin. Pelukanku rasanya tidak cukup baginya, mungkin karena tubuhku yang dingin mengikuti cuaca.

Sesekali kulihat sepasang manusia sedang di dalam mobil, anaknya yang sedang tertidur dipeluknya dalam pangkuan Mamanya. Kesejukan di dalam mobil itu mungkin tak sedingin apa yang kami rasakan di luar ini. Bahagia sekali mereka terlihat dalam wajah-wajah mereka yang dipenuhi sekuncup senyuman meski di luar tengah hujan tak mau berhenti. Kuciumi pipi anakku berkali-kali, berharap Adi juga mampu bahagia karena kecupanku. Untuk Sesaat kutangisi ketidak mampuanku ini, aku hanya mampu memberinya sebuah kecupan. Lamunanku buyar setelah kudapati bis berhenti tepat di depanku. Aku dan yang lainnya saling berebut pelanggan, menawarkan payung sekedar pelindung tubuh untuknya sesaat di tempat itu.

Jika kami telah tiba di rumah, buru-buru kubuatkan wedang jahe manis untuk aku, suamiku dan si kecil Adi, anakku. Kami semua rentan terhadap penyakit, terutama penyakit karena cuaca. Hanya kepasrahan terhadap Sang Illahi yang hanya kami mampu. " Yaa Tuhan, jangan kau beri nasib yang sama ini untuk anakku. "

Friday, October 9, 2009

Hikmah di Balik Gempa

Hikmah di Balik Gempa
Kumpulan Cerpen Siti Arofah . Masih ingat Ketika Gempa terjadi di Tasikmalaya ? Mungkin menyisakan banyak cerita di sebagian orang saat kejadian itu menimpa, khususnya yang berada di pulau Jawa. Ada yang menangis, karena takut tsunami terjadi. Ada yang berteriak histeris, bingung, tak tahu harus berbuat apa. Ada yang berlari berharap bisa keluar dari rumah. Ada yang saling berebut jalan di lorong-lorong tangga darurat.

Ada pula yang terjebak di dalam lift yang tiba-tiba saja berhenti di tengah jalan, pasrah akan ketentuan Sang Illahi sambil menangisi apa yang tengah terjadi pada dirinya.

Aku pribadi juga seperti manusia-manusia lainnya. AKu yang bekerja di sebuah pabrik yang memproduksi barang-barang berukuran setinggi rumah, terbiasa jika setiap hari berteman dengan aneka getaran-getaran. Entah itu getarannya besar ataupun dalam skala kecil, semua itu karena mesin yang sedang jalan atau hasil produksi yang jatuh ketika hendak diangkut menuju ke suatu tempat. Tapi kala Gempa terjadi, Aku yang sedang bergumul dengan angka-angka di depan sebuah layar komputer, tiba-tiba saja terpaku sejenak, menunggu nunggu suara roll besar yang jatuh. Namun nyatanya suara itu tak datang juga. Hingga getaran itu berubah menjadi sebuah goyangan besar berkali-kali. Aku sempat berteriak, lalu bertakbir beberapa kali-kali. Seketika itu teman-teman berhamburan hendak keluar gedung dimana kami berada. Aku yang sedianya bekerja di lantai 2, mengikuti rangkaian teman-teman lainnya yang menuju ke arah tangga. Belum sempat aku menuruni tangga, getaran itu habis. Antara menuruti kemauanku untuk turun ke bawah atau tidak, aku benar-benar bingung saat itu. Getaran yang terjadi kala itu cukup hebat kurasakan untuk kali pertama ini membuat aku sedikit sakit kepala. Karena teman-teman banyak yang kembali lagi ke ruang kerjanya, juga demikian dengan aku.

Setibanya di meja kerja, kutelpon suamiku. Alhamdulillah, suamiku terhindar dari bahaya. Lantas kutelpon ke rumah, untuk mengetahui keadaan anak-anak di rumah. Mungkin Tuhan telah memberi cobaan Nya kepadaku untuk lebih bersabar dan bertawakkal. Buktinya sudah beberapa kali aku mencoba menelpon ke rumah, tetapi selalu dan selalu jawabannya tulalit. Benar-benar hatiku bagai terombang ambing tak menentu arah, saat itu pikiranku hanya satu, "bagaimana nasib anak-anakku di rumah ?" Akan sangat berdosanya aku yang tega meninggalkan mereka di saat-saat seperti ini. Yang aku syukuri kejadian ini, mendekati waktu pulang kerja. Sehingga waktuku untuk berperang melawan gundah gulana di hati tidak berselang lama. Beberapa rekan kerjaku juga sama, dia juga mengeluhkan perihal yang sama, tidak bisa contact ke rumah. Mungkin hanya berpasrah diri yang mampu terucap dalam lidah-lidah kami saat itu, hanya kepada Sang Illah lah kami semua tertuju.

Setibanya di rumah, kupeluk tubuh anak-anakku satu persatu. Alhamdulillah, Allah telah menjaga anak-anakku. Pun begitu juga dengan suamiku. Kami semua saling berpegangan seolah merayakan kebahagiaan kami yang tiada tara. Ya, gempa kali ini terasa begitu dasyat bagi kami, meski gempa ini tak seberapa dibanding dengan gempa di Padang yang baru saja terjadi.

Sunday, October 4, 2009

Sebuah Ancaman Membawa Luka

Kumpulan Cerpen Siti Arofah. Aku terpaku sejenak setelah kudapati sebuah SMS dari wali kelas anakku. "Bu, minta tolong ditanyakan apakah Rafi tahu siapa yang mengambil uang milik Oya di mobil jemputan om Yos." Saat itu pikiranku melambung jauh dengan berbagai argumen tentang Rafi anakku. Jangan-jangan wali kelasku ini ingin memberi tahu aku, bahwa Rafi adalah pelaku yang mengambil uang Oya. Jantungku berlari kencang mengejar jawaban itu, tapi saat ini aku masih di kantor berkutat dengan angka-angka di depan layar monitor.

Jika aku telepon dari sini, mungkin tak akan puas aku mendapat jawaban dari anakku, sebab aku harus melihat mimik mukanya saat ia memberikan jawabannya padaku agar aku tahu apakah ia menjawabnya dengan jujur atau tidak. "Iya Bu, nanti akan saya tanyakan, tapi maaf, sekarang saya masih di kantor" begitulah balasan SMS yang aku kirim ke wali kelas anakku itu.

Jam empat sore telah tiba, berarti waktu pulang kerja telah tiba. Aku pulang dengan hati yang begitu berdebar-debar. Setibanya di rumah, kucoba menenangkan seluruh jiwa, kutata hati ini seapik mungkin. Aku berharap anakku benar-benar menjawab dengan penuh kejujuran. Karena suamiku telah tahu, ia nampak emosi. Aku menyadari jika ia akan marah jika mengetahui anaknya sebagai sang pencuri itu.

"Rafi, sini. Kamu ya yang ambil uang oya di mobil jemputan ?" mata suamiku tampak marah.

"Sabar Ayah, kalau mau bertanya kepada anak jangan dengan emosi, kita tidak akan mendapat jawaban yang puas "Buru-buru kutenangkan suamiku.

"Rafi,.... tadi di mobil jemputan ada apa ?" tanyaku dengan nada datar tanpa sebuah amarah.

Sesaat Rafi menggeleng-gelengkan kapalanya.

"Tadi ada yang kehilangan uang ya ? Apakah Rafi yang mengambilnya ?" tanyaku lebih dalam.

"Aku disuruh Dani, Ma. Kan waktu buku tabungan Oya nampak keluar dari tasnya, aku disuruh Dani mengambilnya. Kalau aku tidak mau, Dani mau kasih ulat ke dalam baju aku. Aku takut, Ma. Dulu Dani pernah berbuat seperti itu, Ma" Rafi tampak seperti sosok bocah kecil yang ketakutan.

"Bener nih yang kamu katakan ? Pembohong itu dosa besar dan akan mendapat siksaan di neraka lho " Aku mencoba berdalih.

"Iya Ma,... Alif lihat koq kalau aku disuruh Dani".

Seketika itu kutelpon wali kelas Rafi. Kujelaskan apa yang telah dikatakan Rafi kepadaku. Wali kelas itu tampak puas mendapat penjelasan dari aku. Ia lalu menjelaskan kepadaku, jika Dani memang telah disidang hari ini perihal kehilangan uang Oya. Wali kelas itu ingin mengetahui mengapa saat disidang nama Rafi disebut-sebut olehnya. Karena takut berprasangka, ia menanyakan kepadaku. Antara aku dan Bu Fitri, wali kelas anakku sama-sama terlihat senang meski kami terpisah oleh tempat dan hanya dihubungkan dengan sebuah seluler.

Alhamdulillah,... Degub jantungku kembali berangsur dalam alunan yang damai seiring rasa puji dan syukurku kepada Sang Illahi. Semoga Allah selalu menjaga semua anakku. Amiiin.

Thursday, October 1, 2009

Aku Telah Jatuh Cinta Untuk yang Kedua Kalinya

Aku Telah Jatuh Cinta Untuk yang Kedua KalinyaKumpulan Cerpen Siti Arofah. Rumput tetangga akan kelihatan nampak lebih hijau dibanding rumput sendiri. Beginilah kiasan yang pernah kudengar. Harusnya kubuang jauh-jauh pemikiran seperti ini. Namun tidak pada diriku yang terjadi sekarang ini. Aku benar-benar telah jatuh cinta lagi. Dan begitu jelinya aku, hingga istriku sama sekali tak mengetahui perselingkuhanku ini. Jujur, aku menyadari, aku telah menghianati cinta istriku yang begitu setia menjalani hidup bersamaku selama ini. Tapi, cinta itu aneh, ia tumbuh bergelora di cawan hatiku tanpa memperdulikan hati siapapun.

Kejadian ini terjadi kira-kira dua tahun belakangan ini. Entahlah, padahal antara aku dan dia telah sama-sama memiliki pasangan yang syah. Dan hebatnya lagi, masing-masing pasangan kami adalah orang yang baik, sabar dan tergolong setia menjalani biduk rumah tangga. Adalah hal yang bodoh, bila kami meninggalkan istriku. Syetan mana yang telah merasuk dalam jiwaku dan Riri, tetanggaku itu, hingga kami benar-benar saling berhati ganda.

Mungkin karena kondisi rumah kami yang tinggal di gang senggol yang sempit yang hanya mampu dilalui oleh kendaraan bermotor beroda dua inilah, kami secara tak sengaja beradu tatapan. Waktu itu, tatapan Riri tampak berbeda sekali dari biasanya, ia seperti sedang menggoda diriku. Entahlah, atau mungkin kala itu ada syetan laknat yang telah merasuki segala pikiran-pikiran kotorku hingga Riri tampak begitu cantik dan mempesona di depan bola mataku ini.

Pertama, kedua dan ketiga mungkin masih seperti hal yang wajar dalam benak selubung hatiku. Namun Riri semakin intens. Aku jadi tak kuat juga menahan gundah gulana di hati ini. Hatiku seperti merongrong aku untuk terbang mengikuti kemauannya, membalas Riri Si Penggoda itu. Kucing mana yang menolak jika di depannya terlihat sebuah ikan yang siap disantap ?

Akhirnya, kami diberi kesempatan untuk berdua tanpa ada seorangpun yang menemani kami. Aku mengungkapkan segala isi hatiku padanya. Bagai suara kicau burung yang saling bersautan, meski seperti tampak malu-malu, Riri menunduk untuk sementara waktu. Senyumnya yang khas menawan hatiku seolah pertanda hatinya juga sama seperti diriku. Tiba-tiba saja tetanggaku datang, hingga membuyarkan antara aku dan Riri. Untungnya, tetanggaku sama sekali tak mengira apa-apa tentang kami.

Ah,.... bodohnya aku mengapa bisa berhati dua dan menghianati istriku yang suci itu.